Harus kusebut apa kisah ini? Kita berjalan begitu pelan, hingga waktu dua tahun terasa begitu lama. Kita yang dulunya malu-malu untuk bicara, hanya sepenggal kalimat "Selamat pagi" dari pesan singkat yang kau kirim, atau ucapan "Selamat malam" sebelum kau terlelap, dan aku mengira itu biasa saja, tidak ada yang istimewa. Aku lalu menerka-nerka pertemuan kita setelahnya, mungkinkah indah atau sama sekali tidak, atau bahkan sangat buruk, tidak sama seperti mimpi yang selalu mengikuti kemana tidurku kusandarkan pada bantal imajinasi. Aku tertegun, diam memikirkan semua yang akan terjadi-waktu itu.
Aku mungkin mengenalmu sebelum waktu pertama kali kau menyapaku, kau adalah teman masa kecilku yang tidak sempat berkenalan waktu itu, hanya ada suara angin yang menyampaikan tentangmu ditelingaku. Aku tidak banyak tahu, dan aku pernah tidak peduli untuk memikirkan siapa kau dan kenapa harus mengenalmu. Aku hanya seorang anak gadis polos dengan seragam putih merah dan rambut berkepang dua waktu itu, berjalan dengan kaki riang melangkah begitu cepat, berlari mengejar kawan.
Waktu berselang, takdir tidak lagi mempertemukan, hanya dari pandangan yang jauh, bahkan sebelum mengenal nama satu sama lain. Hanya wajah yang sedikit berubah, dan bobot tubuh yang bertambah semakin berbentuk. Senyummu masih sempat kupotret, tapi aku masih tidak peduli siapa kau. Entah apa yang kau pikirkan waktu itu. Aku memang berpikir, kau tidak akan peduli juga terhadapku. Kita mungkin pernah bertemu, tapi lupa itu kapan dan dimana. Aku hanya diam, tidak banyak berpikir.
Lalu, disaat kita bersua kata di udara, tanpa kutahu wajahmu, aku pikir kau bukanlah kau tapi orang lain yang memiliki wajah yang tidak pernah kutemui. Hanya suaramu, yang pertama kali kudengar di tapak kemah yang tandus, dimalam yang dingin di bawah sinar bulan yang terang redup terang redup karena awan yang bergoyang disekitarnya. Malam yang terasa sangat panjang, dengan perbincangan yang aneh, tanpa kutahu itu kau yang berbicara. Aku tetap tidak peduli.
Lama waktu setelah itu, bahkan sekalipun kita tidak pernah bertemu. Masih oleh udara yang menghubungkan cerita kita, entah kisah yang semacam apa hidupku waktu itu. Hidup kita yang melayang bersama satelit di angkasa, menghubungkan suara dan pendengaran. Oleh waktu yang mungkin berbeda, tanpa kuminta kau diam-diam menyelinap masuk ke hatiku, membuka ruang itu untuk tempatmu beristirahat. Kita mulai bercerita tentang masa depan, anehnya kau dan aku tidak pernah dalam satu ruangan bertatap mata sekalipun.
Tiba-tiba, waktu mempertemukan. Ada apa denganku waktu itu, kau tak mau bicara. Aku tertunduk malu pada diriku sendiri. Sedikitpun tak ada kata yang mampu kusuarakan, aku diam. Aku terpenganga melihat wajahmu, aku tidak dapat percaya, bahwa itu kau teman kecil yang tidak kuketahui namanya. Aku semakin bingung, kenapa kau yang duduk di depanku? Kenapa bukan kau yang selama ini bercerita denganku? Aku tercengang, mataku tak dapat berkedip meski itu bersembunyi di balik kacamata. Aku tak mampu bergeming dari kedudukanku, bahkan disaat aku harus kembali ke rumahku. Pertemuan pertama, setelah semenjak lama tak bertatap muka tanpa kata. Itu benar kau? Benar itu kau! Aku masih belum percaya, masih ragu. Bahkan setelah kembali ke rumah dan suaramu kembali menggetarkan nada handphone-ku aku masih belum percaya.
Apa yang membawa kita ke masa itu, pikirku. Mungkin takdir, yang mengharuskan pertemuan tak terduga, bahkan aku yang membayang-bayangi wajahmu, menerka-nerka lekuk senyummu tetap tidak menyadari, itu kau di depanku yang dulu pernah menjadi cerita masa kecilku. Sudah berapa lama, aku bahkan lupa. Dan kita terus saja diam, masih belum bicara, masih belum mengakui dan takut takdir berkata lain. Aku tak mau membahasnya, aku menunggu hingga kau mau bicara.
Telah setahun, waktu itu. Perjalanan waktu yang sangat lama untukku, dihari-harimu. Ada percekcokan, ada yang marah, ada yang cemburu, ada yang tertawa tanpa sebab. Dan ada yang menangis. Kekecewaan mulai terbentuk dibenakku, meninggalkan kepiluan yang mendalam di lobus frontalku. Kau membuat tetesan bening tak dapat kubendung, aku menahannya dengan menggigit bibir lalu tesenyum. Rasaku mungkin sangat hancur, bahkan lebih dari berkeping-keping pecahan kaca yang kau lemparkan ke arahku, hujatan kata yang tak pernah kuharapkan. Aku lelah, dan sedikitpun kau tak mau memberiku jeda untuk sekadar bernapas. Aku kalut karena luka.
Tapi, kau tetap ada dihidupku. Meski lukaku mungkin masih belum kering, masih membekas pilu, masih ada pecahan kaca yang tertinggal di hatiku. Kau menjadi temanku, teman dihidupku, memberi cerita sebagai seorang teman, sebagai kawan bahkan sahabat yang kau minta. Aku mulai paham, cintaku mungkin sebatas apa yang kau pikirkan, tapi aku masih tetap memberi rasa, walau kau kenal sebagai teman. Kita, sudah menjadi teman seperti biasa, seperti masa lalu, dengan wajah tanpa nama. Menjadi bagian dari hidupmu, meski dari sudut yang tidak terlihat aku pun masih merasa senang, masih dengan rasa canggung yang sama saat pertama kali berjumpa denganmu. Aku masih dengan wajah malu-malu, dan dengan suara yang terbatah-batah. Aku menyapamu sebagai teman, teman terbaik.
Lalu, setahun lagi kita lalui sebagai seorang teman, hanya teman. Itu mungkin memberi kisah yang lain lagi. Yang berbeda tanpa ku tahu apa maksudnya takdir, aku memikirkan kenapa kita masih saja sejalan, meski dengan langkah yang berbeda, masih dengan tujuan yang sama, meski dengan cara pandang yang berbeda. Kau masih hidup, mungkin-di hatiku, bahkan ketika yang lain datang tanpa ku minta, memiliki cerita lain lagi, berbeda dan berbanding terbalik. Entah apakah hidup akan membuktikan perjalanan kita yang setujuan, mungkin nanti-beberapa tahun lagi. Masa lalu yang akan tetap hidup di masa depan. Tentang kita. Tentang harapan dihari tua.
28 Mei 2013
0 Response to "Perjalanan Kita"
Post a Comment