Pikiranku kini kalut oleh sebuah jalan yang entah darimana arahnya, banyak hal di luar sana yang bisa menjadi sumber inspirasi sebuah cerita. Namun, aku tidak paham mengapa harus jalan ini yang mengundang kata-kata tercipta, jalan yang penuh liku terpatah-patah dan tebing-tebing yang terjal. Ada banyak haluan yang aku temui hari ini, dan aku memilih melangkahkan kaki ke tempat yang tak biasa kulewati. Disana seorang kawan menunggu untuk membawaku pula ke tempat kami menyibukkan diri; belajar menjadi seorang manusia yang berguna; bukan sekedar hura-hura. Deretan mobil tua berlomba-lomba di atas ular raksasa di tengah kota mati, tidak peduli mereka si pejalan kaki. Nafas penuh sesak oleh debu-debu polusi, akibat bahan bakar mobil raksasa reok yang mengeluarkan suara "rergegewghmvhjjshduarduarmenggelegar" entah seperti apa, gelombang bunyinya tidak tertangkap rapi oleh penginderaan yang dititipkan sang MahaKasih.
Dikejauhan, langit nampak lusuh, kusam dan menunjukkan wajah masam. Ah, sebentar lagi bumi akan basah oleh tangisan para-para mendiang; sedih melihat bumi kotor penuh dosa. Sedangkan aku tak punya apa-apa untuk melindungi diri sendiri dari kebasahan. Aku jera, karena tidak tahu menahu akan hujan. Aku bukan peramal cuaca, pun dukun yang berpura-pura tahu segalanya. Aku hanya bisa menerawang pasti dan ketidakpastian, meskipun akhirnya salah besar, tidak ada nilai yang bisa diberikan bapak dan ibu guru di sekolah, sudahlah, sudah seharusnya begitu. Iyakan?
Belum juga lima menit kami berjalan, hujan sudah menampar-nampar kacamata. Semua pengendara motor menepi, memakai jas hujan musim ini. Dan aku? Aku tidak membawa jas hujan pink pemberian ayahku Desember kemarin, tertinggal di rumah, sengaja. Kami melaju saja dengan kecepatan tertinggi mengefisienkan waktu yang tersisa. Semua orang menatap heran, terlihat jelas di balik kaca helm transparannya. Aku acuh tak acuh saja, mereka juga tak kenal, aku pun sama. Kehujanan, tepatnya memilih berhujan-hujan ria. Aku menikmati serinai demi rinai, seperti menusuk-nusuk lantaran derasnya. Itu menyenangkan-bagiku. Yah, seperti mengingatkanku masa kecil di tengah sawah; berlarian melawan rintik-rintik yang membumi. Melewati pematang-pematang sawah, dan bantaran sungai di ujung desa. Aku terperangkap kembali dalam ruang masa lalu yang indah. Aku ingin kesana, kembali melukis sejarah, melewati tanah-tanah yang becek, ikut diruas-ruas jari kaki. Bahagianya...
Kisah itu masih tersimpan rapi dalam lobus frontralis di kepalaku. Hingga hari ini, masih menjadi kenangan yang membuatku ingin terus hidup dimasa itu. Walaupun tidak akan mungkin, tidak akan bisa. Aku mengerti. Sampai disini, hujan masih belum berhenti, dan aku menjadi satu-satunya yang terinfeksi virus demam rindu menahun pada "kita dan kenangan" waktu itu.
0 Response to "Melukis Sejarah Membangun Kisah"
Post a Comment