Jarak, Waktu dan Takdir

Jarak, waktu dan takdir

Sebuah pemikiran dari kata yang tersirat. Ada rasa yang menggebu, meluap-luap hingga kepusaran. Tersembunyi di balik harapan, tertutup oleh ketidak pastian. Datang seperti busur yang baru saja dilepaskan dari panahnya. Sangat kencang hingga tertancap begitu dalam. 

Ketika rasa itu mulai menganak akar, dan menggerogoti seluruh pikiran, memenuhi ruangan yang tadinya hampa, tak berpenghuni hingga tak lagi ada celah, walaupun untuk sebutir debu yang berdiameter sangat kecil. Tidak ada lagi yang bisa mengaisnya, karena telah mengeras dan membatu. Kau mengingatkanku pada tiga hal yang harus kuakui akan melelehkan rasaku suatu ketika. Tiga hal yang akan begitu sulit untuk kulampaui sekali pijakan kaki. 

Jarak, Waktu dan Takdir
Jarak, waktu, dan takdir. 

Jarak.
Aku belum mengerti kenapa jarak itu harus ada, bahkan ketika tak sejauh yang kubayangkan aku tidak pernah bisa mematahkan separuh jalannya. Selalu kakiku tak mampu memenangkannya. Seperti sebuah arena balap yang harus kutempuh bermil-mil tanpa ada batas perputaran ke berapa aku harus berhenti. Entahlah. Jarak terlalu jauh memisahkan, memberi keraguan, bahwa tidak akan pernah sampai. Aku membekap diriku sendiri ketika tersesat tak tahu jalan kembali untuk sekadar memulainya dari titik mula kuberjalan. Maka jarak itu bertambahlah, tanpa kuminta dan kusetujui. Aku lelah. 

Waktu. 
Selalu ada perbedaan. Waktu kita tak pernah sama. Meskipun perputarannya searah. Waktu kita berbeda, seperti malam dan pagi. Tak pernah bertemu. Tidak pernah saling menegur. Malam selalu datang setelah pagi, dan pagi kembali setelah malam pergi. Sama seperti matahari dan bintang, tidak pernah bertemu walaupun mereka pada langit yang sama. Dan kadang aku yakin, bintang punya pesan untuk matahari. Yang kerap menyembunyikannya di balik cahaya yang terang. Bahwa bintang rindu ingin bertemu, bersua kata dan mengindahkan langit bersama matahari. Tapi tak pernah bisa, matahari terlalu terang, sedangkan bintang berada 527 tahun jauh dari matahari, bahkan lebih. Itulah waktu yang aku tahu. Waktu yang benar-benar melelehkan rasaku, hingga mencair dan merembes kemana-mana. Aku. Aku tak sanggup. 

Takdir. 
Hidup adalah sebuah perjalanan. Lingkaran yang harus diikuti, kemanapun dia melaju. Tidak peduli jalannya berkelok, berbatu, becek, atau bahkan berlubang sekalipun. Lingkaran yang tidak lepas dari sebuah keputusan dan di tetapkan sebelum lahir yang disebut "takdir." Sesuatu yang tidak bisa untuk kubantah, bahkan untuk sekadar protes sekali saja. Tidak bisa. Itu sudah jalannya, sudah sepantasnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Marah pun akan percuma, hanya menambah dosa. Aku tak mau. 
Aku harus tetap berjalan, sekalipun aku tak bisa. 

Jarak, waktu, dan takdir. 
Ketiganya adalah sebuah jaringan yang terhubung. Menguatkan pertahanan masing-masing darinya. Jarak yang panjang akan membuat waktu semakin lama. Dan di balik jauhnya jarak dan waktu yang berbeda adalah takdir yang sudah tergoreskan di garis tangan sejak lahir. Memang takdirlah yang harus disyukuri. Sekalipun kita tak pernah tahu bagaimana akhir dari perjalanannya. Meski jarak menyita waktu, dan waktu mengukur jarak, takdirlah yang berbicara. Begini dan begitu. Aku kalah.


0 Response to "Jarak, Waktu dan Takdir"

Post a Comment