Aku baru sadar ternyata aku terlalu lama berdiri di depan makam Dea, dari celah-celah dedaunan ada sinar yang memantul dari kacamataku, seperti mengusirku dari tempat itu. Senja kembali memerahkan suasana, di ujungnya seperti kuning yang mulai sirna perlahan. Burung bangau mulai berterbangan entah kemana, kembali ke tempat peristirahatannya. Sedikit lagi hari tertutup malam, kembali terdengar suara sayup-sayup angin yang membawanya. Panggilan yang lantang bukan teriakan, seruan yang mengundang bukan memaksa hanya sebuah keharusan.
Aku menghentikan langkah kakiku disebuah surau tidak jauh dari pemakaman, terus ke tempat air terdengar mengalir. Airnya sejuk menyejukkan, ku basuhkan perlahan dipermukaan kulit yang kering tersiangi matahari. Aku menjadi makmum satu-satunya perempuan, memang jarang ada yang ke surau ini, sangat jauh dari perumahan warga. Makmum laki-laki mengaminkan do'a yang dilantunkan imam, dan sebagai pengakhir sholat. Aku tak langsung beranjak, masih tenang dalam diam yang terpenjara sepi. Lagi-lagi aku terisak dalam tangis, bayangan masa lalu itu masih terus mengikuti, aku terjerumus dalam kekalutan suasana yang tadinya haru menjadi sangat menyedihkan. Seorang pria menegurku halus, segera ku seka air mata yang meniti pelan. "Kenapa dik? Sepertinya sangat terharu." Tegur pria itu. "Ohh, tidak pak saya tidak apa-apa." Jawabku singkat, tersenyum lalu pergi.
Diperjalanan aku terus terbayang kesedihan masa lalu, di dalam mikrolet yang tadi sempat lewat di jalan yang ku lalui, sekiranya menghemat waktuku, aku masih tidak paham kenapa kenangan itu beranak akar dalam ingatan. Aku sudah melakukan banyak hal untuk menyingkirkan ingatan itu, tapi tak bisa, tetap tak bisa. Aku menarik nafas panjang lalu menghelanya pelan-pelan. Aku hampir sampai, supir mikrolet perlahan mengerem mikroletnya, tepat di depan rumahku, rumah sederhana yang sejak tadi menanti kedatanganku, dan ibu yang menunggu kepulanganku. Selalu begitu, ibuku yang mulai beruban selalu menantiku sembari tersenyum memberi ciuman dan pelukan hangat. Perlahan aku turun dari mikrolet itu, membayar lalu berbalik memandang senyum bahagia ibuku, tak jemu-jemu ku balas penuh kegembiraan.
Sebelum aku membuka pagar rumah, aku melihat secarik kertas terselip diantara besi-besi tua itu. Aku mengambilnya lalu segera masuk memeluk erat ibuku menciumi pipi kiri dan kanannya, kertas itu masih ditanganku tak ada niatku sedikitpun untuk membuangnya, siasatku mengatakan itu harus ku baca, ku tutup pintu kamarku perlahan, merebahkan tubuhku yang kelelahan, ku tatap langit-langit kamarku yang turut prihatin dengan keadaanku. Seperti ikut menangis merasai kesedihanku, konyol nampak bodoh. Kertas itu lalu ku buka perlahan, ada namaku tertulis sangat indah. Surat untukku, pertama kalinya dalam hidupku.
"Bismillahirrahmanirrahiim""Teruntuk Umrah, wanita yang ku cintai""Aku baru saja menyadari, betapa bodohnya aku yang meninggalkanmu. Maafkan aku yang begitu saja pergi dan menghilang dari hidupmu. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu, mungkin ada kekecewaan terhadap diriku. Aku paham, itu salahku. Aku kagum pada ketulusanmu, aku tahu kau selalu mengirimkan bantuan untukku, tapi tanpa sepengetahuanmu aku sudah tahu itu kamu. Ukhtii, yang ku cintai karena Cintaku kepada Dzat MahaCinta, aku ragu ketika memulai hariku jauh darimu ukhtii, aku tidak ingin jatuh cinta lebih jauh dari cintaku kepada Tuhanku, semampuku hanya membangun cinta di atas dasar cinta karena Allah. Aku juga ingin meminta maaf, tempo hari melukai hatimu, ukhtii, tahukah kamu? Perempuan yang waktu itu bersamaku adalah adikku Lisa Humairah, aku tahu kau menyimpan rasa cemburu, tapi aku tak mengelak, maafkan aku, itu kesengajaanku. Agar kau tak menaruh rasa yang lebih dari rasa cintamu kepada Allah. Aku tahu, kau mencintaiku bukan karena siapa aku, aku bisa membaca dari setiap pandanganmu, setiap simpul senyum yang kau ikatkan disetiap bait-bait katamu. Aku melihat cintamu Ukhtii.Ada sesuatu yang harus kau ketahui, sebelum akhirnya kau tahu dari orang lain, ini tentang kau dan sahabatmu Dea.Setahun yang lalu sebelum kita bertemu, Dea adalah seorang wanita yang pernah menjadi tokoh disetiap bait puisiku, dia menghantui setiap malamku. Namun, apa sangka takdirku tak pernah sama dengan garis tangannya. Dea tahu rasaku terhadapnya, tapi entah mengapa dia tak menanggapinya. Dia seperti biasa-biasa saja, lalu mengenalkan kita. Dea memintaku untuk berhenti mencintainya, dia memintaku untuk memandang sahabatnya. Aku menuruti keinginannya, dan itu kamu Umrah. Maafkan aku juga Dea yang tak pernah memberi tahumu, tapi Dea punya alasan, yang tak pernah ku tahu itu apa, mungkin kepergiannya itu adalah jawaban yang telah dia persiapkan sejak lama. Kau jangan marah kepadanya ukhtii, dia pasti sangat merasa sedih. Tapi, ukhtii setelah aku menjadi bagian dari hidupmu, aku mulai merasakan cintamu, yang tak mungkin orang lain bisa dapatkan darimu.Aku beruntung ukhtii mengenalmu, hanya saja untuk saat ini aku harus menahan rasa rinduku, yang kemudian menjadi tiang untuk membangun cintaku, cintaku untukmu, cinta kita. Tunggulah aku sebentar saja, jika kau mau menunggu. Tapi jika tidak, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi pada rasaku. Mengertilah ukhtii. Ana uhibbuki Fillah yaa Ukhtii. Fajrin"
Kalimat terakhir penutup surat itu membuat tangis ku yang yang sejak tadi pecah semakin deras mengalir menari bersama pikiran yang terombang-ambing. Ada yang menggoncah hatiku, aku baru tahu tentang masa lalu Dea dan Fajrin, aku semakin tidak paham dengan takdir yang ada, tapi aku juga tak perlu marah pada keadaan, aku paham itu adalah sebuah kenyataan yang memang sudah jalannya. Aku tak kuasa menahan rasa bersalahku yang berpikir buruk kepada Fajrin beberapa bulan terakhir ini. Surat ini menjadi satu-satunya bukti akan pengakuannya. Ku selipkan disela buku harianku, menjadikannya arsip berharga dalam ceritaku.
Masih ada lagi
Masih ada lagi
0 Response to "Balasan Suratku"
Post a Comment