Karya: Munifa
Munifa Unhy |
Hari ini, ketika matahari mengintip di balik pagar bukit, lalu
butiran-butiran embun nampak menghiasi kuncup-kuncup dedaunan. Saat mata
terjaga oleh seberkas cahaya yang menyusup dari celah dinding yang
kecil, ketika rasa lelah itu tergantikan oleh semangat yang baru untuk
memulai kembali berjalan. Meniti kehidupan yang masih belum pasti.
Wanita yang baru saja terbangun dari kematian sementara, mulai berjinjit
dan berdiri perlahan. Menopang tubuh yang masih kaku untuk segera
bergerak. Nyawa belum terkumpul sepenuhnya, dia berhenti sejenak untuk
sekadar menguatkan niat. Mengucek mata yang masih terbius kantuk,
mengemas kekuatan untuk menarik nafas yang segera menegur kemalasan.
Setelah
tak ada lagi alasan untuk tetap diam dalam ruangan kotak berjendela
satu, masih dengan atap yang bocor, dan dinding yang lembab. Wanita itu
mulai beranjak, memulai langkah yang semampai, tenang tapi cepat.
Meskipun waktu untuk sekadar duduk sebentar dan menikmati segelas susu
coklat dan roti berselai masih cukup lama. Dia tidak suka berlama-lama
berada di ruangan 3*4 m itu, ruangan yang cukup luas untuk seorang
wanita yang masih belia. Meskipun telah setahun dia menempati rumah
kotak itu. Dia tetap enggan bersantai sendiri dalam lamunan, menikmati
sepi yang terus meluap-luap, hingga ada kejenuhan dalam jiwanya. Ingin
segera pindah dari tempat itu.
Langkahnya tidak berhenti,
satu-dua-tiga, dia menghitungnya pelan-pelan. Sudah sampai di depan
ruang pendidikan, dia menarik nafas sebelum masuk duduk dan menjadi
seorang yang bisa dikatakan siswa, siswa di atas siswa. Entahlah
pikirnya apa itu benar. Sedangkan dari perilaku sebagian dari mereka
masih kekanak-kanakkan. Masih sangat lugu untuk dikatakan setengah
dewasa. Bahkan tingkah lakunya tidak menggambarkan bahwa dia seorang
mahasiswa. Memang, masih bisa dikatakan wajar. Karena masih tahap
kenaikan level. Dapat dimengerti. Tapi, telah satu tahun berlalu.
Hampir. Katakan saja begitu. Anehnya, tingkahnya semakin menggila.
Semakin tak tertebak. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana
gilanya mereka. Wanita itu tetap bersikukuh dalam kedudukannya yang
mantap, kursi pojok dekat jendela. Dia sering tak menghiraukan kegilaan
yang terjadi disekelilingnya, kadang marah dan emosi tak tertahankan.
Berteriak. Seperti itu, sebenarnya tak dia sukai. Tapi keributan,
kegaduhan, bahkan suara-suara aneh yang memekikkan telinga, mencuat-cuat
hingga meruntuhkan jantung seperti itu, dia merasa itu bukanlah dunia
sebenarnya. Itu adalah sebuah malapetaka yang mengundang kemarahan dunia
yang sebenarnya. Dunia, yang dulunya adalah tempat yang penuh
kedamaian. Sebelum mereka lalu datang, dan membuat onar, membuat
segalanya berubah. Dari jernih menjadi keruh, dari putih menjadi kuning,
pekat, kelam dan gelap.
Wanita itu tidak serta merta
menyibukkan diri dengan gurauan yang mencekik rasa sabar, dia kembali
duduk. Menenangkan jiwanya yang tadi meninggi hingga pada puncak emosi
tertinggi. Wanita yang menyukai ketenangan, tapi tetap bercanda kadang
dalam gurauan yang menyehatkan. Dia kembali tenang, ada kelegahan. Dia
merogoh saku tasnya, mengambil kaca bergagang hitam dengan kaca yang
bening kadang hijau lalu merah muda. Kombinasi warna, dari arah lain.
Pandangannya tak lagi samar, terang, tergambar dengan jelas. Wajh-wajah
yang baru saja dia tegur, terlihat keanehan. Ada yang membuat jiwanya
canggung. Ada rasa bersalah, ada yang membuat nadinya menari tak
terkendali. Mereka yang lain, tak lagi ada. Entah kemana. Memberi tempat
leluasa untuknya sendiri. Dan ruang kosong dalam jiwa terisi kembali
oleh udara yang sejak tadi tertahan oleh keragu-raguan. Dia mulai
mengatur tempo yang harus dia imbangi dengan ritme yang setara. Duduk
dikursi pojok adalah favoritnya.
Hingga sore, dia masih berada
dalam ruang pendidikan. Menjalani sebagian besar hidupnya, di ruangan
yang sesak ketika terisi penuh, dan bergantian secara acak orang-orang
yang ada di dalamnya mengambil nafas satu-satu. Keluar dari kelas itu
adalah cara terbaik untuk meninggalkan kamatian yang tidak wajar.
Menghirup udara kebebasan dari suara-suara yang kegelisahan.
Tangannya
meraih sebuah buku dari dalam tasnya, baginya waktu luang adalah waktu
untuk membaca sekalipun tidak berlembar-lembar. Dia mulai tumbuh dengan
rasa ingin tahu sejauh apa itu cinta, seperti apa itu rindu. Dan mulai
larut dalam cerita dan makna yang tersirat dalam cerita bukunya. Wanita
berkacamata memiliki hobby yang menurut sebagian orang adalah pekerjaan
yang membosankan. Duduk dengan buku ditangan, menerawang apa yang bisa
dikhayalkan dalam imajinasi. Hanya dalam pikiran yang tidak bisa
diaplikasikan, walaupun sebatas dunia sempit tak berlangit dan tak ada
permukaan yang membatasi. Tapi, wanita dengan kacamata yang membantu
penglihatannya agar tetap terfokus pada syaraf-syarafnya, sudah terbiasa
dengan bacaan-bacaan yang menurutnya dapat memotivasi dirinya. Membaca
adalah pintu kesuksesan untuk karyanya.
0 Response to "Wanita Berkacamata"
Post a Comment