Untuk Dia yang tak Punya Nama
Apa kabar?
Bagaimana hidupmu? Aku harap kau bahagia.
Aku ingin berbicara kepadamu. Aku sudah bercerita panjang lebar kepada Tuhan. Memang sudah tenang, Allah memberiku keleluasaan sesaat. Tapi, apa kau tahu, hidupku tetap tidak mudah. Takdir masih mencandaiku, tidak pernah tenang melihatku bernapas lega.
Mengapa kau tetap bergeming dalam pikiranku? Bukankah, telah kupersilakan kau terbang mengawan? Terbang mencari kehidupan yang engkau impikan. Aku takut. Nanti, ketika aku benar-benar tidak dapat menemuimu lagi, lalu apa yang akan kuperbuat dengan hidupku nanti?
Apa kabarmu hari ini? Masihkah sendu tatapan mata itu? Seperti dulu kali pertama kita bertemu. Ketika datang orang lain dengan aura yang berbeda, kau tahu, kau selalu menjadi pemenang dihatiku. Dan jika kau bertanya apa aku lelah? Ya, benar. Aku lelah. Karena mencarimu butuh waktu yang lama, dan aku lupa usiaku telah terlampau jauh. Entah seberapa lama lagi.
Semakin jauh dari waktu ketika aku merasa memilikimu, meskipun sebenarnya aku tak pernah memilikimu. Sekarang, tanpa menyalahkan janjimu, aku akan kehilangan semua kata-katamu. Bahwa aku selamanya bagimu. Bahwa, kau mengembalikanku pada masa itu. Tidakkah aku penting bagimu? Pernahkah kau berpikir sedang apa aku saat ini? Sementara, ketika kau mendatangi mimpiku, aku menangis.
Aku merasakan kehadiranmu, saat itu. Aura hatimu. Senyum surgamu. Bahkan, setelah aku tak lagi berharap untuk bertemu, aku tetap menginginkan auramu. Berharap kamu mampir sejenak di bunga tidurku. Sejenak saja, dan itu sudah cukup membuatku menangis. Setelah dunia ini, kita tetap tak akan bisa menyatu. Lalu, di mana aku bisa menemuimu? Semakin aku merasa pernah memilik, semakin keras rasanya kehilangan. Ini bukan tentangmu, melainkan aku. Kedengaran egois, tetapi aku tidak punya cerita lain. Bahkan cerita tentangmu, sekalipun. Karena sekarang kau tak lagi tahu seperti apa aku, dan tidak pernah menganggapku pernah ada di hidupmu. Kau tahu, tiba-tiba aku mengkhawatirkan masa depanku. Sesuatu yang dulu tidak pernah kupikirkan. Dimanakah kau pada masa depanku? Ketika kita telah semakin menua dan lemah. Dimanakah kau pada waktu itu? Masihkah kau akan memberikan senyummu?
Tiba-tiba aku ketakutan, dan begitu rapuh. Berharap kau ada di sini. Menatapku, mengetahui aku. Memahami apa yang ada di benakku...
Masih berhakkah aku menemuimu? Mungkin sudah tidak. Atau, memang tidak pernah aku memiliki hak itu. Yang pasti, aku begitu merindukanmu...
Mungkin, ini waktuku untuk melangkah lagi. Entah untuk apa, entah untuk siapa. Yang pasti bukan hanya untukku.
Aku sangat rindu, rindu auramu, rindu tawamu, rindu senyummu. Aku ingin mendengar desah suaramu.
Seperti dulu.
0 Response to "Untuk Dia yang tak Punya Nama"
Post a Comment