Titipan Ayahku, Untukmu...

Takdir adalah apa yang tak bisa kita pungkiri. Sebuah keharusan yang tertulis rapi disetiap garis tangan manusia. Memberi kisah dan cerita yang berbeda. Pun ketika dua orang dipertemukan. Aku percaya, takdir itu yang terbaik untuk kita. Harus kuterima dengan lapang, meskipun kadang ia menyakitkan. Aku masih belum tahu, apakah pertemuan kita akan memberi kisah yang sama untukku dan untukmu? Aku masih menunggu...

Sepasang bola mata itu, kuintip diantara celah jemari tanganku. Dia tersenyum, mengingatkanku kembali pada pertemuan kali pertama di penghujung senja waktu itu. Iya, wajahnya masih terpampang dalam anganku. Dan lagi, aku terjatuh pada cinta yang sama.

Tahukah kamu?
Dia adalah kamu yang terus mengajakku berlalu. 
Meski diperjalanan harus ku mengaduh, aku masih ingin bersamamu.

Kamu... 
Apakah kamu memiliki rasa yang sama sepertiku? 
Masihkah mimpimu ingin kamu wujudkan bersamaku? 
Benarkah kamu akan datang dan memintaku kepada mereka? 
Yakinkah hatimu?

Pernah sekali aku tertipu, dan itu membuatku takut. Aku tak perlu kata-kata, aku tak butuh atap kaca. Cukup cinta, dan sepiring nasi di meja makan. Cukup dengan menemanimu menyeruput secangkir kopi, dan dinikmati bersama tawa. Aku bahagia. Memikirkannya saja, aku tetap bahagia.

Ayahku pernah berkata; apapun itu yang terbaik, ia tak akan melarang. Maka dengan keikhlasan ia tak akan melerai kata. Mengertikah kamu maksud harapannya?
Ia tak ingin aku kecewa. Ia tak sudi aku bersedih.
Aku melihat ia tersenyum paksa. Ketika kuminta adalah kamu. Bukan karena ia tak mau, bukan karena ia ragu. Tapi, karena ia masih ingin merangkulku. Masih ingin kubebani, mungkin. Ah, pikiranku sembarangan, tapi siapa sangka memang begitu adanya.

Titipan Ayahku, Untukmu...


Tapi ia tak lagi punya pilihan. Sewaktu aku memang harus ia lepaskan. Membebaskanku melangkah, tanpa diikuti olehnya. Memberikanku ruang untuk membebaskan segala rasa. Memberiku kesempatan menapaki kehidupan sebenarnya. Matanya mulai sembab, aku melihatnya. Ia menangis tersedu dalam diam. Berdo'a agar hidup tak lagi mempermainkan. Menitipkanku pada jarimu, pada pundakmu, yang mungkin baginya bisa menyamai pundaknya, yang selama ini kuberatkan.

Akankah masa itu kurasakan? Masa dimana ayahku rela, aku pergi tanpanya lagi. Aku tak tahu pasti.

0 Response to "Titipan Ayahku, Untukmu..."

Post a Comment