Sudah cukup malam tadi meredupkan lipatan-lipatan kelopak mata dari kelelahan yang teramat sangat, membiaskan mimpi-mimpi yang mengangkasa, membuka lembaran cerita awan di balik opera langit yang membingkainya sebagai lakon yang serta merta manut pada kuasaNya. Aku seharusnya membuang keresahan yang menjadi beban tak berkesudahan, menitipkannya sebagai wicara yang tak tersampaikan; oleh bibir tanpa polesan. Menerobos dinding-dinding yang mengeroposkan tulang –tulang penuh dosa. Meminta belas-kasih dengan tangan yang semakin renta, mengeja setiap centi bait-bait qalamullah yang tak usang oleh waktu, bahkan saat cinta terseok-seok di ambang pilu.
Sepagi ini aku masih merapal rindu, memintal benang-benang cinta di lembah sunyi jiwaku. Aku, kepada hati yang entah siapa dan dimana akan kulabuhkan segala rasa; masih menunggunya untuk bicara. Hatiku bak kertas lusuh terkoyak-koyak oleh fatamorgana dunia yang ambigu-penuh kebohongan nan nista di balik kubangan tempatnya menyulur-nyulurkan pengakuan palsu. Aku membutuhkan haluan yang bisa mengantarku pada mihrab suci tuanku. Membebaskan nestapa yang berganti-ganti meradang pikiranku, sehingga logika turut bernyanyi saat hati mendendangkan irama langka pembaringan jannah Tuhanku. Kemana hendak aku akan turut, membungkus rintih penuh sesal dari kepingan hati yang terjepit diantara gelombang pasang-surut rasaku. Oh Tuhanku, yang tak mampu dilampaui dangau akalku, bebaskan aku.
Rintih jiwaku kian pasrah pada nuansa yang menggelapkan mataku, tersesat dalam jelaga hati yang netra pada pendar-pendar cahaya qalbu. Menunggu goresan aksara jemari yang tak jua menyapaku; di dinding putih penuh debu. Menunggu hingga subuh menggelar suara-suara gemerisik membangunkan pagi. Memanggil jiwa di titian hati yang meretas sepi. Hingga malam nanti jika setengah jiwa itu tak kunjung hadir, aku masih disini.
0 Response to "Wicara Hati"
Post a Comment