Dinding Putih

"Selamat malam. :)"

Kucoba untuk menyapamu diantara kesibukanku yang-sebenarnya-tak berarti apa-apa. Walau aku tahu, mungkin kamu akan mengabaikan pesan singkat itu di berandamu. Aku tahu. Bagimu, itu hanyalah sekadar kata-kata, bukan hal yang istimewa.

Aku juga tidak berharap kamu akan membalas dengan ucapan yang sama "Selamat malam juga, kamu. :)" Tidak akan lagi. Bagiku, itu hanyalah harapan kosong yang akan menyakitiku, juga menyakitimu. Aku hanya ingin menolong jari-jariku yang sangat ingin menyapamu, melalui perantara dinding putih kecil, yang sebenarnya membuat kita dekat, benar-benar dekat, dinding yang jaraknya hanya sepuluh jari dari matamu. Walaupun kamu, tidak lagi pernah melirik ke arahku. Aku sudah baik-baik saja, akan baik-baik saja. Sama saja denganmu, yang sudah-benar-benar berhasil dengan hidupmu.

Dinding Putih

"Apakah aku masih merasakan rindu untuknya?" aku mendengar bisikan itu lagi. Tentang kerinduan yang selalu datang tanpa kenal waktu dan situasi. Rindu yang seharusnya menyadarkan aku yang dulu pernah menyakiti.

Dan lagi. Aku harus membentak hati. Menyergahnya agar tak semena-mena terhadap diriku sendiri. Hati yang selalu ingin mengalahkan logika dengan alasan-alasan yang tak mampu ditebak maknanya. Seperti cinta yang tak mudah dikenali rupanya. Seperti rindu yang tak pernah bisa diketahui inginnya. Rindu yang kadang memberi bahagia, tapi tak jarang mengundang kesedihan. Seringkali memunculkan harapan-harapan, tapi selalu mengalirkan air mata.

Kamu yang berada ribuan kilometer dari tempatku, semoga kamu selalu baik-baik saja.

0 Response to "Dinding Putih"

Post a Comment