Ujung-ujungnya Rindu

Sudah sangat lama, sejak hari itu. Tak lagi kutemui kata demi katamu, entah kemana rimbanya kakimu. Aku masih belum mengerti, kenapa jarak menjadi sangat jauh, mengapa waktu tak pernah ada bahkan untuk lima seka waktu, meski kutahu itu adalah takdir. Rasanya...baru kemarin kita berkenalan, bercerita satu sama lain, meski tak ada jabat tangan tanda perkenalan. Namun, rasa mengalir begitu saja diantara akson berlapis sel schwan. Bahkan lebih deras dibandingkan aliran darah yang dipompa dari jantung ke seluruh tubuh, dan detak jantungku berdetak kencang akibat saraf simpatetik yang terangsang oleh rasa yang aneh. Begitu kuat, degupannya sangat terasa meronta karena kali pertama merasakan keanehan yang luar biasa. 

Ujung-ujungnya Rindu


Aku mulai mencerna sedikit demi sedikit rasa itu, menyimpannya pada lemari kerinduan dengan pintu yang tergembok kasih sayang. Jika suatu saat tiba masanya untuk dikatakan, akan tetap utuh tanpa cacat, meski perasaan semakin tak tertahankan, biarkan rindu itu beristirahat. Sukmaku yang terus menggeliak, dengan keresahan tanpa pertemuan, gelombang rasa akan tetap sama pada ritmenya yang sesuai, tidak akan berubah dan menjadi datar. Ketika gelombang itu datar, hati akan mengalami kematian rasa. Dan aku tak mau itu. 

Tenanglah kau, yang kurindukan namanya sekian lama terpendam dalam naluriku. Biarkan tahtamu tetap menjadi yang terbaik di kedalaman sanubariku. Gejolak rinduku dan asa cintaku tetap pada area di lobus frontalisku, tetap tenang, tetap tertanam dan menjadi memori yang tidak akan termakan virus. Telah kubalut dengan kain keikhlasan, rajutan yang berbeda dan istimewa. Tenanglah kau disana, di hati dan pikiranku. Menjadi teman sepi hariku, mengenang lekuk senyum; simpul bahagiamu. 
Meski rindu pada rupa yang hanya ada dalam bayanganku, menjadi inspirasi tiap bait sajakku, menjadi tokoh dalam ceritaku, menjadi harapan dalam do'aku.

Maros, 11 Mei 2013

Related Posts :

1 Response to "Ujung-ujungnya Rindu"