Kusang Si Musang yang Malang

Kusang Si Musang yang Malang


Di sebuah hutan yang lebat terdapat perkampungan binatang, perkampungan itu terkenal dengan nama “Kampung Suka-suka.” Di kampung itu hidup keluarga Kelinci yang baik hati, disana juga hidup berbagai jenis binatang, ada Monyet, Gajah, Ular, Katak, Burung-burung , dan binatang lainnya. Mereka hidup rukun bertetangga.
Ayah kelinci adalah pekerja keras yang ulet, dia dipanggil “Pak Rabit”. Ibu Rabit adalah Kelinci yang gemar sekali memasak, dia dermawan dan juga ramah. Dan anaknya si Rabit Kelinci yang gesit. Mereka sangat baik dan tidak sombong.
Suatu hari, saat Rabit berjalan-jalan disekitar rumahnya, dia bertemu Si Kusang yang sedang mengusili para Gajah yang sedang bekerja. Kusang adalah Musang yang sangat nakal, dia tidak suka melihat hewan lain bahagia.
“Hei Kusang, kenapa kamu merusak  tanaman milik mereka? Itu perbuatan yang tidak baik,” kata Rabit menasehati.
“Apa urusanmu? Sebaiknya kamu segera pergi saja dari sini!” cetus Kusang, jengkel.
“Saya tidak suka kalau kamu mengganggu mereka bekerja.”
“Dan saya tidak suka jika ada yang menghalangi pekerjaan saya!” kata Kusang mendorong Rabit, kemudian dia pergi.
Rabit bangkit dan segera menolong para Gajah yang kewalahan membersihkan bunga-bunga yang di rusak oleh Kusang. Setelah membantu Gajah, Rabit kembali melompat dengan lincah. Di taman bermain, Rabit bertemu Cikcik Cam dan Sang Mus. Sang Mus adalah adik Kusang, berbeda dari kakaknya Sang Mus adalah Musang yang periang dan ramah. Sementara Cikcik Cam adalah burung camar yang ceroboh, dia berteman baik dengan Rabit dan Sang Mus.
“Cik cik cik, itu Rabit kan?” tanya Cikcik Cam pada Sang Mus.
“Iya,” kata Sang Mus membenarkan, “itu kenapa bajunya kotor sekali yah?”
“Rabiiit… Sini sini cik cik” Cikcik Cam memanggil Rabit dengan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Rabit lalu menghampiri mereka, dengan wajah yang riang dan seolah tidak terjadi apa-apa.
“Hei, kalian sedang apa?” tanya Rabit penuh semangat.
“Kami sedang mencari buah-buahan Rabit” kata Cikcik Cam.
“ Baju kamu kenapa kotor begini?” tanya Sang Mus penasaran.
“Iya kenapa, sepertinya telah terjadi sesuatu” sambung Cikcik Cam yang juga penasaran pada Rabit.
“Ohh… umm… Tadi saya tersandung di akar pohon dan terjatuh,” kata Rabit sedikit berbohong untuk menjaga perasaan Sang M         us, “tapi tidak apa-apa, saya kan Kelinci yang hebat,” sambungnya lagi.
“Lain kali kamu hati-hati yah Rabit, jangan melompat terlalu tinggi,” kata Sang Mus menasehati dengan penuh perhatian.
“Iya, kalau begitu ayo kita sama-sama mencari buah.”
Mereka bertiga lalu bersama-sama mencari buah-buahan, karena sekarang sedang musim panen buah. Banyak tanaman yang berbuah di pinggir sungai, mereka dengan semangat berjalan sambil bernyanyi.
“Laalaalaaa… Hutanku kaya… Lalaalaa… Hutanku rimba raya …”
“Saya suka hutan rimba, tempatku hidup dan bersuka ria…”
Ditempat lain, di pinggir sungai Kusang nampak sibuk mengumpulkan buah-buahan. Tiba-tiba datang Monyet tua yang sedang kelaparan. Dia mencari pisang-pisang yang telah matang, untuk segera di bawah pulang.
“Hei nak, kenapa semua buah-buahan ini kamu petik?” Tanyanya pada Kusang.
“Kenapa memangnya pak? Suka-suka saya.”
“Apakah buah-buahan ini kamu petik untuk dibagikan kepada hewan-hewan lain?”
“Tidak!” jawab Kusang singkat.
“Lalu? Kenapa semuanya kamu ambil?”
“Untuk saya makanlah Monyet,” jawab Kusang cetus.
“Bukankah ini hak semua hewan disini? Kamu tidak berhak mengambil semuanya!” kata Monyet menasehati.
“Kenapa? Suka-suka saya.”
Karena merasa tidak dihargai, Monyet marah dan menggoyang-goyangkan pohon yang dipanjat Kusang. Sehingga Kusang terjatuh ke sungai dan terbawa arus. Monyet merasa takut dan berputar-putar disekitar sungai mencari cara menolong Kusang.
Saat Rabit dan kawan-kawan tiba di pinggir sungai, mereka bertemu dengan Monyet tua yang kebingungan juga kelaparan. Monyet tidak pernah kalah gesit dari siapapun kalau buah pisang telah matang. Mereka tidak ingin ada yang memakan makanan yang paling digemarinya. Tapi, mereka juga tidak rakus sebab masih menyisakan buah-buahan yang lain untuk penghuni hutan. Namun kali ini tidak, dia tidak mendapatkan apa-apa. Terlebih lagi dia sedang dalam masalah.
“Halo, pak Nyet!” sapa Cikcik Cam.
Monyet kaget, dan melompat sejadi-jadinya. Dia sangat ketakutan dan terus menghayalkan nasib Kusang.
“Uuuk aakk uuk aak, kalian membuatku kaget,” dengan suara ngos-ngosan, “kalian sedang apa disini?”
“Kami sedang mencari buah-buahan pak Nyet,” Rabit menanggapi dengan sopan, “tapi sejauh ini kami belum mendapatkan apa-apa.”
“Ouh… ouuuh… bu buah buuahan?” Tanya Monyet gagu.
“Iya, Anda kenapa pak?” tanya Sang Mus.
“Tiittiidak, tidak apa-apa.”
“Kenapa Anda seperti ketakutan begini?” tanya Sang Mus lagi.
“eee anuu, buah-buahannya sudah habis di ambil Kusang tadi,” kata Monyet mempertegas.
“Kusang? Kusang kakak saya pak?” tanya Sang Mus dengan nada malu-malu.
“Iya, dia mengambil semuanya tanpa sisa. Saya sudah melarangnya, tapi dia tetap tidak memperdulikan saya.”
“Kenapa dia licik sekali cik cik cik? Padahal disini kan banyak hewan lain yang juga membutuhkan makanan,” cetus Cikcik Cam ceplas-ceplos.
“Maaf, maafkan kenakalan kakak saya,” suara Sang Mus terdengar sangat lirih.
Seketika itu Cikcik Cam tersadar, kecerobohannya membuat hati Sang Mus merasa sedih.
“Maafkan aku Sang Mus, aku tidak bermaksud membuatmu merasa bersalah.”
“Tapi kamu benar Cam, kakakku memang nakal,” kata Sang Mus terseduh-seduh, “terima kasih telah jujur kepadaku, itu lebih baik daripada kalian berbohong lebih banyak lagi.”
“Sudah Sang, kamu jangan nangis,” kata Rabit pelan-pelan.
“Kamu bohong kan Rabit, soal bajumu yang kotor karena terjatuh?” kata Sang Mus menggertak Rabit.
“Darimana kamu tahu Sang?” kata Rabit heran.
“Saya melihatnya  mengusili para Gajah bekerja, tapi sebelum saya menegurnya kamu sudah datang terlebih dahulu dan di dorong olehnya,” kata Sang Mus menjelaskan.
“Tapi aku tidak bermaksud berbohong Sang Mus!” tukas Rabit.
“Tapi berbohong itu sama saja menghilangkan kepercayaan Rabit,” katanya lagi terisak-isak, “tapi taka apa Rabit, saya mengerti maksudmu.”
“Eee, eee… Maafkan saya. Sebenarnya…” kata Monyet pelan-pelan.
“Sebenarnya kenapa pak Nyet?” tanya Cikcik Cam.
“Itu… Itu…Si Kusang tadi jatuh ke sungai karena saya menggoyang-goyangkan pohon yang dipanjatnya,” jelas Monyet.
“APA? Kak Kusang jatuh ke sungai?” Sang Mus sangat kaget.
“Lalu dimana dia sekarang pak?” tanya Rabit.
“Dia terbawa arus ke ujung sungai sana,” kata Monyet menunjuk arah sungai yang ujungnya adalah jurang.
Sang Mus pun berlari kearah jurang itu, dia tidak memperdulikan Cikcik Cam yang melarangnya, karena sangat berbahaya. Tapi bagi Sang Mus kakaknya adalah satu-satunya yang dimiliki untuk dijaga. Kusang memang nakal, tapi tidak pernah menyia-nyiakan adiknya. Namun sayang, apalah daya tangan tak sampai bagi Sang Mus menolong kakaknya yang malang. Kusang sudah terbawa arus entah kemana. Mungkin dia terdampar atau termakan buaya.

Kusang kini tinggalah sebuah kenangan untuk Sang Mus, Rabit dan hewan-hewan lain di hutan itu. Kenakalannya membawanya pada maut yang tidak terduga. Namun, itu juga menjadi bagian yang paling dirindukan adiknya Sang Mus. Ayah dan ibu Rabit mengangkat Sang Mus sebagai anak asuh mereka, karena kedua orang tua dan kakaknya telah tiada. Tinggallah Sang Mus sebatang kara. Di rumah yang sunyi penuh debu kerinduan.

0 Response to "Kusang Si Musang yang Malang"

Post a Comment