Pundak Ayahku

Pundak Ayahku

Lagi dan lagi aku duduk di belakang ayahku. Bersandar di punggungnya membebaskan lelahku. Untuk kesekian kalinya, sudah tak terhitung lagi oleh jari-jariku. Ia rela bahkan tak pernah mengeluhkanku. Seberapa kalipun kuminta ia tetap mau, menurutiku tanpa kata "tidak bisa" langsung saja ia datang kehadapanku, dengan rasa tanggung jawab dan keperkasaan melindungiku. 


Pundak Ayahku

Seperti sekarang ini. Ia kembali menemaniku, menapaki jalan berliku penuh debu dan terik cahaya matahari yang membakar kulit bumi. Ia dengan tenang mengikuti alur perjalanan, sedangkan aku hanya duduk menatap wajahnya dari kaca kuda besinya. Wajah itu sangat bersemangat, seolah menatap masa depan yang baik untukku. 

Aku tahu, aku adalah beban yang memberatkan pundaknya. Beban yang lebih berat dari pekerjaannya, beban yang harus ditanggulanginya sendiri. Hingga nanti, sebelum aku menjadi beban orang lain.

0 Response to "Pundak Ayahku"

Post a Comment