Pergilah Aku tak Apa-apa

Pergilah Aku tak Apa-apa
Berulang kali ku baca surat itu, mataku mulai sembab, memerah hingga membengkak. Aku tak lagi peduli pada tulisan yang harus ku lanjutkan. Tugasku yang sejak tadi menunggu untuk diselesaikan. Tak ada rasa ingin mengerjakannya, ada yang mengganggu pikiranku memutus tali imajinasiku. Kata-kata Fajrin terus menggerogoti sel-sel dalam otakku. Seperti berada dalam ruang yang semakin menyempit, menyesakkan tarikan nafasku. Aku mulai merasa jauh dari harapan. 

Secarik kertas putih itu memberiku isyarat untuk tidak terlalu jatuh dalam lubang kesesatan, kata-katanya membuka pikiranku tentang rasa yang tak seharusnya lebih dari rasa cintaku kepada Tuhanku. Selama ini aku mungkin terlalu egois, dan tidak menyadarinya. "Aku bisa, tak akan ada air mata." Bisikku pada diriku. Kertas itu lalu kembali ku selipkan pada catatanku, membiarkannya berada pada lembaran-lembaran ceritaku. 

Pagi hadir kembali, rasa syukur tak henti-henti menjadi simbol rasa bahagia karena masih bisa merasakan hidup hari ini, matahari mulai memuncak kepermukaan, muncul perlahan dibalik bukit yang menjulang tinggi. Awan menghiasi langit yang biru menjadikannya lebih dari indah. Ronanya semakin cerah dengan butiran bening diujung daun, terbentuk seberkas warna-warni yang berkilau, meski tipis tapi ada. Aku kembali kepada aktivitasku yang biasa, menjadi seorang mahasiswa yang berkewajiban untuk belajar. Membantu dosen agar tidak mengulang-ulang kembali materi yang telah diberikan. Kenyataan yang memang harus kujalani apaadanya, itulah hidupku sekarang. Walaupun ada yang kurang, ada yang telah hilang, kasih sayang seorang sahabat yang ku rindukan. Mungkin dia juga merasakan kerinduan yang sama, semasa hidupnya adalah bahagia dalam kesakitan, aku tak pernah merasai hal yang serupa, mungkin itu yang membuat Dea menjadi sangat kuat. Hingga akhir hayatnya hanya sekali dirawat di rumah sakit. Aku merindukan dia, seperti pagi ini yang mengingatkanku pada tingkahnya yang menggelitik dada. Memberi tawa sebelum tegang menghadapi ujian. Dea sudah tenang di alamnya sekarang. Hanya do'a yang mampu ku kirimkan untuk kebahagiaannya. 

Dasi sisi lain kehidupanku, aku mendengar kabar tentang Fajrin yang akan berangkat ke Australia melanjutkan pendidikannya disana. Sejenak aku terdiam, benarkah begitu adanya, nalarku masih belum mencapai titik temu jawabannya. Seorang temannya lewat di depanku dan tak ada rasa ragu aku bertanya tentang kebenaran kabar itu. Ternyata benar, besok Fajrin akan segera berangkat. Tubuhku melemas, yang tadinya sudah sangat yakin bisa menepis sedikit demi sedikit rasaku kembali merasa takut untuk lebih jauh darinya. Tapi aku sadar, mungkin itu pilihannya yang ingin meredakan rasa dihatinya. 

"Sudahlah, aku bisa. Sudah ku katakan aku bisa." Tegasku pada diriku. "Biarlah, aku tak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku masih bisa tersenyum tidak akan menangis." Menguatkan hatiku yang sebenarnya masih sangat shock. Aku memang merasa sedih, tapi sebisaku untuk tidak menunjukkannya. Kepergiannya itu bukan berarti aku harus berhenti mencintainya, akan tetap ada cinta yang bersemayam dalam naluriku, sekalipun itu tidak sebesar dulu, karena dia menyadarkanku ada cinta yang lebih dari cintaku, lebih dari cintanya. Ku titipkan salam perpisahan pada senja terakhir dia berada di atas tanah yang sama denganku. Sebelum akhirnya dia merasakan pagi yang berbeda dari pagi-pagi yang kami nikmati bersama. Pergilah, aku tak apa-apa.

Bersambung lagi

0 Response to "Pergilah Aku tak Apa-apa"

Post a Comment