Dia Datang, Kau Kembali

Kemapanan bukanlah satu-satunya alasan seseorang disebut dewasa, juga dibutuhkan pikiran dan perasaan. Tak henti-hentinya mereka menanyaiku tentang seseorang yang akan ku kenalkan kepada mereka, disetiap temu keluarga, teman, maupun kolega. Aku tidak mengerti mengapa mereka begitu berambisi ingin mengenal seseorang yang baru saja ku kenal beberapa bulan yang lalu, aku selalu memutar balik alasan, agar tersita banyak waktu untuk membawanya. Hari-hariku terlewati tanpa bisa kuhitung, semua sama tidak ada yang berubah dari hari kehari, semua monoton tak ada yang membedakannya, hanya orang-orang yang ku temui di jalan berpapasan tanpa sengaja yang menjadi pembanding seberapa pasang mata yang ku temui hari ini dan kemarin. Tidak terhitung, bahkan mungkin lebih dari 1001 pasang mata, entahlah. 

Syahril, seseorang yang ku temui beberapa bulan yang lalu dalam sebuah acara "Mengembangkan Minat Menulis Pemuda Indonesia" satu-satunya orang yang berani menegur dan menyapaku berulang-ulang. Awalnya aku tidak pernah memperdulikan dia ingin berbuat apa, melakukan apa, dan berkata sebanyak apa. Aku tidak sedikitpun ingin mendengar gurauannya tentang kehidupan. Namun, suatu ketika dia datang kepadaku, membujukku untuk mengikuti langkahnya, hanya beberapa langkah saat itu aku bergeser dari tempatku berdiri, aku berhenti menarik tanganku yang digenggamnya, aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Aku merasa takut, dan dibodohi. Aku seperti ingin marah, tapi aku tidak menemukan bagaimana cara marah yang baik dan benar. Dia terkejut, berbalik arah menatapku. Aku merasa berada pada suatu tempat, antara yang gelap dan terang yang membangunkan, dia berlutut tegak dihadapanku, aku termangu diam tak berkutik takut bersuara, ada yang mengunci rongga mulutku untuk bernada. Dihadapanku seorang pria menatap sangat dalam, aku seperti takjub melihat garis-garis berwarna di ujung matanya. Apa yang membuatnya melakukan hal itu aku tidak tahu, sekiranya tadi dia ingin membawaku bertemu kedua orang tuaku. Memintaku kepada mereka untuk pergi bersamanya, pergi ke pelaminan yang diridhoi sang MahaCinta. Dia jujur, berterus terang tanpa basa basi. Dia yang datang tiba-tiba seperti melambung tanpa melihat. Dia memintaku penuh kesabaran, aku dengan hati yang telah lama kujaga untuk tetap sendiri seperti tersangkut pada ranting pohon yang dia tanam. Seperti tak ada alasan untuk menolak, aku menyertakan senyum setelah kata 'iya'. Dan jadilah hari itu dia membawaku kembali kepada orang tuaku untuk memintaku memberkati. 

Hari menjadi sangat cepat ku lewati, kami benar telah berada pada pintu keridhoan yang Allah janjikan, aku akan segera terikat pada janji sehidup semati yang pernah Rasulullah SAW lewati bersama Sitti Fatimah istrinya. Aku akan mendapat amanah baru sebagai seorang wanita yang pertama dalam keluarga, dan untuk laki-laki kedua, wanita kedua, dan ketiga keempatnya, semua atas restuNYA. 

Dua minggu sebelum hari akad, saat aku berjalan melewati trotoar yang ramai, aku terkesimak memandang sepasang bola mata yang sejak tadi menatapku penuh rasa ragu dan takut, seperti. Aku mengenal mata itu, pandangan yang teduh itu, sepasang bola mata hitam pekat yang ku temui pula pertama kali 3 tahun yang lalu, seseorang yang dikenalkan sahabatku Dea sejak masih belajar dibangku kuliah. Mata Fajrin, yang teduh penuh harapan. 
Aku seperti ingin hilang, ingin terbang dan mencari tempat mendarat yang jauh dari permukaan. Aku merasa kaku tak beraliran darah, seluruh peluhku dingin dan membekukan pikiranku, dia semakin mendekat tersenyum mencairkan kebekuan hati. Ku kepal jemari tanganku, aku takut jika dia semakin dekat dan meronrong rasa yang telah tertidur pulas dalam peti perasaan. 

Kenapa ada mereka, kenapa ada dia dan kenapa dia ada. Benarkah takdir seharusnya hanya seperti itu, tak ada tanda-tanda semacam mimpi atau hembusan angin yang mengingatkan. Fajrin kembali dan Umrah telah pergi. Pergi dari kehidupannya yang penuh dengan bayangan dan impian tentang hari tua bersama Fajrin, tapi sebuah kesadaran berpikir telah memalingkanku pada pintu yang lain, dan melambaikan tangannya untukku mengikuti jalannya. 

Dan beginilah adanya, takdir yang menginginkanku hinggap di dalamnya. Ada yang datang, dan yang lain kembali. Mempertemukan masa lalu dan masa depan.

Kemapanan bukanlah satu-satunya alasan seseorang disebut dewasa, juga dibutuhkan pikiran dan kepekaan perasaan. Tak henti-hentinya mereka menanyaiku tentang seseorang yang akan ku kenalkan kepada mereka, disetiap temu keluarga, teman, maupun kolega. Aku tidak mengerti mengapa mereka begitu berambisi ingin mengenal seseorang yang baru saja ku kenal beberapa bulan yang lalu, aku selalu memutar balik alasan, agar tersita banyak waktu untuk membawanya. Hari-hariku terlewati tanpa bisa kuhitung, semua sama tidak ada yang berubah dari hari kehari, semua monoton tak ada yang membedakannya, hanya orang-orang yang ku temui di jalan berpapasan tanpa sengaja yang menjadi pembanding seberapa pasang mata yang ku temui hari ini dan kemarin. Tidak terhitung, bahkan mungkin lebih dari 1001 pasang mata, entahlah.   Syahril, seseorang yang ku temui beberapa bulan yang lalu dalam sebuah acara "Mengembangkan Minat Menulis Pemuda Indonesia" satu-satunya orang yang berani menegur dan menyapaku berulang-ulang. Awalnya aku tidak pernah memperdulikan dia ingin berbuat apa, melakukan apa, dan berkata sebanyak apa. Aku tidak sedikitpun ingin mendengar gurauannya tentang kehidupan. Namun, suatu ketika dia datang kepadaku, membujukku untuk mengikuti langkahnya, hanya beberapa langkah saat itu aku bergeser dari tempatku berdiri, aku berhenti menarik tanganku yang digenggamnya, aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Aku merasa takut, dan dibodohi. Aku seperti ingin marah, tapi aku tidak menemukan bagaimana cara marah yang baik dan benar. Dia terkejut, berbalik arah menatapku. Aku merasa berada pada suatu tempat, antara yang gelap dan terang yang membangunkan, dia berlutut tegak dihadapanku, aku termangu diam tak berkutik takut bersuara, ada yang mengunci rongga mulutku untuk bernada. Dihadapanku seorang pria menatap sangat dalam, aku seperti takjub melihat garis-garis berwarna di ujung matanya. Apa yang membuatnya melakukan hal itu aku tidak tahu, sekiranya tadi dia ingin membawaku bertemu kedua orang tuaku. Memintaku kepada mereka untuk pergi bersamanya, pergi ke pelaminan yang diridhoi sang MahaCinta. Dia jujur, berterus terang tanpa basa basi. Dia yang datang tiba-tiba seperti melambung tanpa melihat. Dia memintaku penuh kesabaran, aku dengan hati yang telah lama kujaga untuk tetap sendiri seperti tersangkut pada ranting pohon yang dia tanam. Seperti tak ada alasan untuk menolak, aku menyertakan senyum setelah kata 'iya'. Dan jadilah hari itu dia membawaku kembali kepada orang tuaku untuk memintaku memberkati.   Hari menjadi sangat cepat ku lewati, kami benar telah berada pada pintu keridhoan yang Allah janjikan, aku akan segera terikat pada janji sehidup semati yang pernah Rasulullah SAW lewati bersama Sitti Fatimah istrinya. Aku akan mendapat amanah baru sebagai seorang wanita yang pertama dalam keluarga, dan untuk laki-laki kedua, wanita kedua, dan ketiga keempatnya, semua atas restuNYA.   Dua minggu sebelum hari akad, saat aku berjalan melewati trotoar yang ramai, aku terkesimak memandang sepasang bola mata yang sejak tadi menatapku penuh rasa ragu dan takut, seperti. Aku mengenal mata itu, pandangan yang teduh itu, sepasang bola mata hitam pekat yang ku temui pula pertama kali 3 tahun yang lalu, seseorang yang dikenalkan sahabatku Dea sejak masih belajar dibangku kuliah. Mata Fajrin, yang teduh penuh harapan.  Aku seperti ingin hilang, ingin terbang dan mencari tempat mendarat yang jauh dari permukaan. Aku merasa kaku tak beraliran darah, seluruh peluhku dingin dan membekukan pikiranku, dia semakin mendekat tersenyum mencairkan kebekuan hati. Ku kepal jemari tanganku, aku takut jika dia semakin dekat dan meronrong rasa yang telah tertidur pulas dalam peti perasaan.   Kenapa ada mereka, kenapa ada dia dan kenapa dia ada. Benarkah takdir seharusnya hanya seperti itu, tak ada tanda-tanda semacam mimpi atau hembusan angin yang mengingatkan. Fajrin kembali dan Umrah telah pergi. Pergi dari kehidupannya yang penuh dengan bayangan dan impian tentang hari tua bersama Fajrin, tapi sebuah kesadaran berpikir telah memalingkanku pada pintu yang lain, dan melambaikan tangannya untukku mengikuti jalannya.   Dan beginilah adanya, takdir yang menginginkanku hinggap di dalamnya. Ada yang datang, dan yang lain kembali. Mempertemukan masa lalu dan masa depan.

0 Response to "Dia Datang, Kau Kembali"

Post a Comment