Aku dan Dia.


Duduk termenung dalam kesendirian, aku berkelana dalam ruang yang tak ada elemen lain selain tanah, cahaya dan udara. Gersang, aku sangat kelelahan di tempat itu. Tak ada pohon tempatku bernaung, tidak ada air penyejuk dahaga yang tak lagi bisa ku tahan. Kulitku sembab karena cucuran keringat, mataku kering tersapu angin membawa butir-butir debu yang mengekor bersamanya. "Duaar" Lamunanku pecah, aku kembali terbangun dari khayalan. Dea sahabatku mengagetkanku dari belakang, dia sudah sangat tahu bagaimana aku. Sangat mengenalku, dari caraku bicara jujur atau bohong, dari caraku makan lapar atau doyan, dari caraku tersenyum bahagia atau pura-pura bahagia, dia tahu apa yang ku lakukan saat duduk sendirian seperti saat ini melamun. Kebiasaan yang buruk, yang sering dicekal oleh Dea karena terlalu takut aku jauh dari duniaku. Dea juga tahu tempat dimana aku sering memasuki dunia khayalku di tepi danau dekat rumahku. Dia tahu segalanya tentang aku, masalahku, bahagiaku, dukaku, tawaku, semua tentang ku. Aku juga tidak tahu sebab apa dia begitu peduli padaku, sedangkan aku tak pernah memberi lebih dari yang dia beri, aku tak punya banyak materi untuk memberi dia hadiah tidak seperti dia yang bisa membeli segalanya. Aku hanya seorang biasa, sedangkan dia adalah wanita yang sangat luar biasa. Dea sahabatku, aku menyayanginya karena cintaku kepada Allah, atas rasa syukurku karena diizinkan bertemu dengan Dea dalam hidupku. Lamunanku buyar karena tingkahnya, dia mengajakku berjalan kesuatu tempat yang kali pertama dia datangi. "Rah, kamu jangan terlalu jatuh dalam khayalan." Dea lagi-lagi menyiasatiku dengan kelembutan jiwanya. "Aku tahu batas De, aku juga hanya mencari inspirasi untuk menyelesaikan tulisanku" sembari menatap senyum Dea yang tak pernah lepas dari bibir tipisnya. "Kenapa kamu tidak menulis tentang kenyataan hidupmu Rah? Bukankah itu lebih baik?" pertanyaan yang sering sekali aku dapatkan dari orang-orang yang berbeda. "Aku pernah mencobanya De, tapi aku merasa hidupku tak jauh lebih indah dari khayalanku, aku terlalu sulit memaknai setiap langkahku." jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama. Sangat sepadan, pertanyaan memiliki pasangan jawaban yang seharusnya, dan itulah jawabannya. 
Kami meneruskan perjalanan, yang ku lihat sepanjang alur yang ku tempuh adalah deretan pohon beringin yang rindang dengan akar-akar yang menggantung, disisi lain ada tanaman berbunga merah, kadang putih, juga kuning, sangat cantik. Aku menyadari kenapa Dea membawa ke tempat ini, Dea tahu aku sedang dalam kegelisahan, tak menemukan keindahan dan kebahagiaan dalam imajinasiku, aku tak lagi bisa menahan rasa haruku, segera ku dekap tubuh mungilnya dan menangis dalam rangkulannya. "Kenapa Rah? Kenapa lagi-lagi kau menyembunyikan dukamu?" 
"Hmm, huhuhu aku tidak tahu De, aku juga tidak mau membuatmu terlalu memikirkanku, kau sudah terlalu jauh membantuku" masih dengan kata yang terbata-bata. 
"Umrah, kita sahabat, kau sahabatku dan aku sahabatmu, aku akan jauh lebih sedih ketika sahabatku tak bercerita kepadaku" tutur Dea menenangkanku. 
"Iya De, aku mengerti maafkan aku" 
"Huss, Aku benci kata maaf darimu, sudah ku bilang diantara kita jangan ada kata meminta maaf, kamu mengertikan maksudku?" Dea dengan senyuman dalam tangisnya masih dengan tenang mengingatkanku. 
"Aku tahu kau merindukannya" Ujarnya menatapku penuh tanda tanya. 
"Iya De, aku sangat rindu kepadanya, aku sangat ingin bertemu dengannya, bersua sapa penuh bahagia" tuturku dengan menghela nafas perlahan-lahan. 
"Lalu, kenapa kau tidak mengatakan kepadanya?" kata Dea terus menggugat pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya. 
"Itulah De, aku bingung harus bagaimana, aku tak punya banyak cara menuturkan kalimat-kalimat jika yang kuhadapi adalah dia" dan kembali tangisku pecah "Sudahlah Rah, kalau memang seperti itu kamu jangan terlalu sedih, nanti juga kamu sadar akan ada yang lebih baik darinya" tuturnya menasehati penuh hati. Aku terdiam tanpa kata tak tahu harus berkata apa, aku meminta Dea untuk berhenti membicarakannya, kami segera pulang karena senja telah berganti petang. 

Di kamar bacaku, lagi-lagi aku menatap lembaran-lembaran ceritaku dihari kemarin ketika masih bersamanya, bersama dia yang kurindukan. Setelah lembaran penuh yang terakhir masih ada lembaran kosong tak bertitik tak bergaris, tak ada kata yang tergores menjadi sebuah cerita. Tetesan bening menjadi pengganti tinta dalam ceritaku, menggambarkan rasa sedih hatiku, kertas itu mulai basah karena derai air mata yang terus mengalir. Air mata menjadi penghantar tidurku saat itu, hingga subuh aku tertidur dikursi dengan lengan sebagai bantalku. 

Subuh itu aku menyeka air mataku yang masih tersisa dipermukaan kulitku, melingkari bekas tetesan air mataku satu-satu. 
Ku tutup buku harian itu, meskipun tak ada kata satupun yang muncul dari inspirasiku. Aku beranjak dari kedudukanku, membasuh wajahku dengan air wudhu yang sejuk menyegarkan hati yang gersang, menyiram padang jiwa yang tandus, menggerakkan seluruh organ-organ tubuhku dengan gerakan yang sempurna, dalam ayat-ayat yang membentang, dalam do'a yang disempurnakan, rakaat terakhir sebelum salam, sujudku yang terakhir tak ingin ku lepas, aku merasa ada tangan yang meneduhkanku dari panas, memayungiku dari deras hujan, aku lalu meninggalkan gerakan itu, beri salam kekanan lalu kekiri. Do'aku setelahnya terbilang namanya sebagai harapan yang ku harapkan, menyisipkannya dibait demi bait, syair-syair do'a yang ku panjatkan, dan teruntuk sahabatku yang setia, terselip dalam harapan hidup dalam kehidupan bersama. Ku tutup do'aku dengan kalimat-kalimat tasbih yang dikumandangkan sejagad raya. 

Aku lalu terkejut, membaca sebuah pesan singkat yang tak kuharapkan dipagi buta yang masih redup oleh cahaya. 
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun" Kalimat pertama ini membuat badanku kaku seluruhnya, wajahku memucat tak ada aliran darah. Aku kembali membaca "Umrah, kamu jangan kaget, ini bukan keinginan kita, Dea sahabatmu telah menemui Allah mendahului kita, penyakit tumor dikepalanya sudah memutuskan segalanya dari kita, kamu yang sabar Rah, Dea akan dimakamkan hari ini juga." Tanganku gemetar, tubuhku membujur kaku, hatiku remuk seperti diremas oleh tangan besar yang kokoh, jantungku seperti berhenti berbunyi dag dig dug, mataku membelalak tak bercerita. Air mataku lebih deras daripada hujan yang kemarin membanjiri bumi. 
Dea sahabatku telah pergi meninggalkanku, aku masih belum percaya kemarin dia masih bersamaku, aku tak merasakan apa-apa ketika dia merangkulku, hanya saja ada dekapannya yang sangat erat tak ingin melepaskanku. Dia menangis lebih dari tangisanku. Dia memang sakit, tapi aku tidak tahu separah itu. Itu kebodohanku, yang tidak bertanya jauh, aku hanya tidak ingin membuatnya merasa sangat sedih dengan penyakitnya, Dea juga sangat jarang bercerita tentang penyakitnya. Dia sering berkata "Tidak apa-apa" padahal itu adalah rasa yang sangat sakit untuk dirinya. 

Aku beranjak dari duduk simpuhku yang masih kaku untuk segera berdiri, buru-buru aku memakai jilbabku untuk segera ke rumah Dea, melihat terakhir kali wajahnya yang cantik semampai tanpa polesan bedak yang sangat dia tidak sukai. 

Aku tergopoh-gopoh, tak sabar membuka kain yang menutupinya, dan aku tak lagi bisa menahan rasa sakit kehilangan, aku berteriak membangunkannya, aku tak mau dia meninggalkanku, aku membutuhkan dia yang selalu menyemangatiku, memberi nasehat kepadaku, tapi semua percuma Dea telah pergi. 

Dari pemakaman aku langsung kembali ke rumah Dea, menemui ibunya yang pingsan sejak tadi. Aku memeluknya sangat erat, rasaku mungkin tak lebih sakit dari rasanya, Dea putri tunggal dikeluarganya. Kini ibunya hanya sendiri, karena ayahnya telah lama menghadap lebih dulu daripada Dea. Tulangku masih sangat kaku, masih tak bergeming, aku memang sangat kehilang seseorang yang ku cinta tempo hari yang pergi bersama kekasihnya yang lain dan aku masih bisa menemukan yang lebih dari dia. Aku teringat kata-kata Dea kemarin waktu di taman bunga itu "Sudahlah Rah, kalau memang seperti itu kamu jangan terlalu sedih, nanti juga kamu sadar akan ada yang lebih baik darinya." Itu nasehat terakhirnya untukku. Tapi aku lebih kehilangan ketika sahabatku satu-satunya, yang mungkin tak akan ada yang lebih baik daripadanya. 
Aku sekarang sendiri, tak ada yang mengagetkanku saat melamun, tak ada yang merangkulku ketika jatuh, kini khayalanku semua tentang Dea, aku masih ingin bertemu dengannya dikehidupan selanjutnya.

0 Response to "Aku dan Dia."

Post a Comment