Kepada hati pun jiwa yang kini lenyap bersama duka. |
Senja itu perlahan meninggalkan belahan bumi tempatku berpijak, suasana menjadi sangat tenang, suara-suara gemuruh azan dari segala penjuru mulai terdengar, terngiang disetiap sudut garis cakrawala. Memanggil jiwa-jiwa yang lelah untuk meregangkannya sejenak, sebagai panggilan yang suci mensucikan. Mereka yang sadar bergopong-gopong kesumber seruan bermakna do'a itu. Aku juga beranjak dari tempatku berdiri yang daritadi menatap dari kejauhan senja yang mulai tenggelam, menutup pintu rumah sederhana yang melindungiku dari panas jika siang, dari dingin jika malam, dan dari angin-angin yang menerbangkan asa. Hari ini ku lelah dari kebanyakan kesedihan, jiwaku merasakan kegoncahan yang meruntuhkan semangatku. Aku duduk bersimpuh menatap tanpa titik fokus, aku tak melihat apapun yang ada dihadapanku. Hanya gelap yang membutakan mataku seperti, aku mencari-cari titik terang yang mungkin ada tapi sulit ditemukan. Aku lalu menutup mata, menuturkan kalimat penuh harapan. Perlahan ku buka kelopak mataku, mengedipkannya sesekali. Sudah terlihat jelas, tak lagi gelap, sujud syukur ku persembahkan menutup ibadah maghrib yang tenang.
Masih dengan mukenah yang ku kenakan, aku berdiri mengambil kitab yang mulia, melantunkan ayat-ayat suci penuh makna, menekan tanda baca yang sudah seharusnya, menipiskan yang harus tipis, membaca tebal huruf-huruf yang tebal. Nada-nada yang ku sukai, irama yang mendayu, aku tidak memuji tapi aku mensyukuri bisa membacanya seperti kebanyakan orang. Masih beberapa ayat, aku tersentak oleh ingatan sebelum senja hari ini. Ingatan tentang dia yang tak kunjung hadir memberi tawa dalam kesunyian, dari pagi, petang, pagi lagi, malam lagi, pagi, siang, sore, malam lagi, lalu pagi lagi, entahlah seberapa banyak pagi setelah dia menghilang begitu saja, tanpa ada kata perpisahan terakhir kali.
Aku beranjak menyimpan kitab itu, karena tak lagi bisa memfokuskan pikiranku pada kalimat-kalimatnya, ku ambil sebuah buku berwarna merah muda bermotiv hati berwarna-warni, ku buka pada lembaran yang belum terisi, ku tuliskan semua tentang pikiranku, tentang apa yang ingin ku katakan, tentang rasa yang menggejolak, bergelora hingga ke hulu hati yang bertepi tanah tandus.
"Bismillahirrahmanirrahiim""Akhii, sedari dulu ku rasai perasaan ini, sudah sejak dulu ku pendam rindu ini, sudah lama ku titipkan do'a untukmu kepadaNYA. Akhii, aku memang bukan yang sempurna, aku tak lebih dari mereka. Aku hanya memiliki rasa, yang mungkin terlalu ku artikan lebih dari sepantasnya. Ada rindu yang terselip ketika tawa terurai, ada sedih kala senja tak bisa hadirkan bayanganmu. Akhii...Aku senang memanggil namamu, walaupun tidak kau dengar, aku mungkin telah bersalah banyak terlalu memikirkanmu dalam khayalan, aku mengimpikanmu dalam harapan, aku mengharapkanmu dalam impian. Dari berjuta-juta umat yang ku temui, aku hanya bisa mengenalmu lebih dari mereka, meskipun hanya kejauhan, terpisah jarak dan ruang, ada waktu yang tak memberi kesempatan bersua kata, mungkin ini takdir untuk kita.Aku bahagia mengenalmu Akhii, sekalipun tak bisa bersamamu.Ini salam perpisahan yang tak pernah terlontar sebelumnya, mungkin akan ada waktu saat kita bertemu kembali. Umrah"
Ku tutup dengan sebuah senyum kesedihan, menyobek kertas itu dan melipatnya pelan-pelan. Membungkusnya dengan kertas lain, dan memikirkan cara untuk memberikan kepada dia. Sepucuk surat perpisahan, yang tak pernah ku niatkan sebelumnya. Aku seperti tersadar, seperti ada yang menuntunku untuk menuliskannya. Seperti ada yang memainkan remote-controlku dari belakang, dan aku yakin itu Allah. Mungkin sudah sepantasnya ku merelakan yang sudah pergi, menenggelamkan rasa agar tak lagi muncul dipermukaaan usia. "Bahagia itu ketika membayangkan, aku dan kamu menjadi kita."
Next
Next
0 Response to "Sepucuk Surat Terakhir (Aku dan Dia)"
Post a Comment