Kota Sepi.

Jalan yang berliku itu adalah satu-satunya jalan yang harus ku lewati, menapaki haluan-haluan berkerikil. Jalanku kini berbeda, tak sama seperti dulu ketika masih dalam rangkulan ibu yang penuh kelembutan. Sekarang hanya ada aku, hanya aku di jalan ini. Berdiri dari petang menunggu pagi hadir kembali, tidak untuk menutup mata dari kegelapan tapi untuk terjaga dalam ketakutan. Gelap mungkin selalu berakhir terang, tapi akan tetap menjadi gelap kembali, terang lagi, gelap lagi, seterusnya terus begitu, bergilir fajar hingga senja, perbandingan hari selalu tak sama. Jalan masih sangat panjang, meski setiap hariku melewati jalan yang sama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk ke ujung jalannya. Melemparkan toga keberhasilan, penuh suka dan bahagia yang tergelar jauh. Sayangnya masih terlalu jauh, untuk membicarakan hari itu sekarang.

Penuh tanda tanya (?) Kenapa harus ada takdir semacam ini? Memisahkan aku dan sumber segala kehidupanku. Begitu tega mengusirku hingga ke batas terujung kota yang telah tereksploitasi ini. Aku teramat bingung ketika jalan yang ku lewati semakin jauh dan berhaluan seribu. Kota ini mungkin kebanyakan teramat megah untuk mereka yang tidak tahu bagaimana jalan-jalan yang susah ditempuh bila berlari. Harus perlahan-lahan agar tak tergores luka yang sulit terobati. Kota ini kota impian mereka yang tak pernah menjajali, tak pernah mencium aroma yang menyengat menyesakkan keseluruh rongga dalam jiwa.

Kota ini ramai, tapi masih saja tetap sepi untukku. Tak ada lagu yang membangunkan semangatku, semuanya bising tidak membuat telingaku menjadi enggan mendengarkannya. Suaranya mengundang kejenuhan, gemuruh tak menyenangkan menorehkan kegelisahan. Hanya saja aku harus tetap berada disini, tetap pada ruangan kotak yang sangat sepi membunuh tawa dalam canda. Tapi, selalu ada tawa yang bercorak, kadang lurus, zigzag, berkelok, dan kadang juga tidak teratur. Aku yang biasa bersembunyi di balik duka, mungkin bagi mereka seperti orang yang paling munafik, hanya saja begitulah caraku menjadi lebih kuat. Sekalipun ceritaku membeberkan tentang duka hidupku tak semua orang bisa mengerti tentang diriku. Diam!

Tawaku mungkin pecah setelah percikan kembang api. Tapi duka kembali lagi setelah semuanya sirna tanpa bekas setitik pun, tapi aku tetap bersimpuh dalam kedudukanku memandang langit, tanpa sedikit pun nada bicara yang ingin ku tuturkan. Bisu!

Kota ini sangat sepi walau ramai dengan suara-suara jiwa lain yang menjadikan kota ini rumahnya, halu lalang putaran roda memiriskan telinga, ini kota ramai! Iya sangat ramai dengan keributan, tapi duniaku sebatas aku, sebatas tempatku, sebatas jalanku. Sepi sangat sepi!

0 Response to "Kota Sepi."

Post a Comment