Sudah sejak lama, kita tak saling bertukar kata. Bukan karena aku sibuk atau kamu yang lupa memberi cerita padaku. Hanya saja, waktu kini harus berlalu tanpa menyisakan ruang untuk kita; kita yang kini hanya aku saja; dan kamu saja. Aku... aku tahu semua karena salahku, karena keangkuhanku yang, membuatmu ingin pergi dariku. Sehingga setiap kali aku merasa merindukanmu, aku harus selalu menyadarkan diriku atas kesalahan yang aku perbuat terhadapmu. Aku salah, salah mengartikan pikiranku; yang dulu kuanggap semua akan tetap sama; setelah aku memilihnya. Kukira, kita akan baik-baik saja. Kukira, kamu masih akan menerimaku, walau aku tidak bisa memilikimu seutuhnya. Kukira, aku masih bisa menyapamu seperti biasa; saat pagi membangunkanmu, dan petang menidurkanmu. Aku berharap masih ada kita; meski dalam versi yang berbeda. Maafkan aku, terkesan tega namun itu harus kulakukan untuk tidak menyakitimu terlalu jauh. Aku takut kamu merasa kecewa nantinya. Maafkan aku yang harus memunafikkan rasaku terhadapmu. Aku yang harus membohongi diriku setiap waktu, saat rindu itu menghampiriku.
Mungkin kamu tidak mengerti mengapa harus kamu yang merasakan penghianatan ini. Mengapa kamu yang harus kutinggalkan untuk seseorang yang lain. Mengapa aku tidak memilihmu dan meninggalkan dia saja disana. Atau mengapa aku merasakan hal yang sama terhadap kalian. Aku tahu itu yang ingin kamu tanyakan padaku. Awalnya, semua baik-baik saja. Hanya ada kita, yah kita; aku dan kamu. Namun, tak selamanya datar kita temui, ada terpaan yang kamu berikan padaku. Kamu yang selalu merasa cemburu, bahkan untuk seorang teman yang biasa bagiku. Aku mengerti kamu, perasaan cemburu ada karena itu dari hatimu. Aku paham, aku berusaha mengendalikan diriku dari amarah; yang awalnya aku benar-benar ingin menumpahkannya, karena kamu menuduhku di depan banyak orang, menggertakku, memarahiku, menatapku dengan tatapan yang berbeda. Aku merasa sakit waktu itu, merasa bahwa kamu belum mempercayaiku sepenuhnya. Aku pikir kamu akan mengerti, tapi akau salah, cemburumu terlalu buta. Aku menyadarkan diriku; yang terlalu mengharap kepercayaan darimu. Semua menjadi biasa-biasa saja, sapaanmu, tatapanmu, genggaman tanganmu, aku sudah seperti hilang dari hatimu. Mungkinkah aku salah waktu itu?
Tanpa aku sadari, dia datang dan berlari kearahku, sama seperti caramu. Aku tidak tahu mengapa dia terlihat seperti kamu, mungkin karena aku memikirkanmu, atau karena aku merindukanmu, atau karena aku berharap itu kamu. Namun, angin yang berhembus menyadarkan aku bahwa dia adalah orang yang berbeda. Dia bukan kamu yang aku mau. Dia adalah orang yang membuatmu merasa cemburu, dan lagi aku teringat padamu. Dia berbisik kepadaku, meski aku melerainya dia menatapku sama seperti kamu menatapku juga. Aku berusaha berpaling darinya, namun ketika aku mengingat percayamu yang sudah tiada untukku, kantung mataku menitikan tetesan bening karena tak ada kamu yang menguatkan aku. Dan dia melihatku menangis disana, dia membasuh lukaku, mengeringkan rembesan air mataku dengan kedua tangannya. Aku tidak tahu maksudnya apa, tapi aku berharap kedua tangan itu adalah tanganmu. Setelah lama aku diam, kupikir aku bisa kembali padamu, kupikir kamu sudah bisa memahamiku, sudah bisa menerimaku lagi. Kukira. Tapi, dalam perjalananku kearahmu, aku melihatnya menangis sama seperti ketika aku menangis karena kamu. Aku tidak bisa meninggalkannya dengan luka; yang saat itu dia rasa, mungkin aku harus tetap disana dipikirku.
Setelahnya, aku lupa cara kembali. Aku lupa jalan untuk pulang. Pulang ke rumah kita, yang kuharap masih bisa diutuhkan kembali. Namun waktu itu aku salah lagi, aku telah lama pergi dan tak kunjung kembali; dan kamu, kamu yang dengan hatimu yang lapang telah berusaha melupakan aku. Ada sedikit kecewa dalam diriku, bukan kepadamu, tapi kepada diriku sendiri. Aku kecewa karena membuatmu menunggu terlalu lama, kecewa karena melupakan jalan kita, aku kecewa pada aku yang tidak bisa berlari secepat kamu berlari. Dan lagi, aku terkurung rasa bersalah. Hingga sejauh ini, aku tertinggal selangkah daripada langkahmu. Kamu yang dengan kesabaranmu telah memutuskan untuk benar-benar pergi, dan mengusirku dari jalan ini.
Siapa menyangka, begini adanya? Aku saja sulit menerka apa inginnya Tuhan mempertemukan aku dan kamu, lalu mendatangkan dia dan kita berpindah haluan masing-masing ke jalan yang berbeda. Aku tidak tahu mengapa bisa aku terlalu lama mengobatinya dan semua akan menjadi serumit ini. Andai aku tahu, saat itu kamu akan pergi, mungkin aku tidak akan memenangkan egoku. Seandainya waktu itu aku memilih untuk bersabar dari rasa cemburumu, aku masih akan bisa menatap lekat senyummu dipagi hari. Kenapa aku tidak tahu, kalau kamu menungguku terlalu lama waktu itu. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan perputaran waktu, mematahkannya agar kita terkurung dalam waktu yang sama, disaat kita duduk berdua menikmati senja, atau saat tak ada orang lain yang datang. Namun, harapan itu kamu patahkan dengan kata percuma, yang aku kira kamu juga mengharapkannya sejak awal. Tapi aku salah lagi terhadap keinginanmu, dan aku tersadar bahwa aku memang tak pernah mengerti kamu.
Sekarang, percuma jika aku tetap merindu begini. Percuma aku bermimpi untuk sedetik pertemuan membebaskan sejengkal rindu yang setiap hari semakin bertambah sejengkal demi sejengkal, hingga tak terukur lagi. Ah, mungkin aku saja yang merasa begini, Dan itu percuma saja bagimu. Maka aku yang dengannya kini, mungkin harus meneguhkan keputusanku di jalan ini, tinggal disini, dengan rasa yang harus kusudahi.
Sumber gambar:
http://cerpenanakbangsa.files.wordpress.com/2012/04/cintadansahabat.jpg
0 Response to "Denting Waktu yang Ingin Kupatahkan"
Post a Comment