Lagi. Aku dipaksa menulis ini. Seperti keinginan kuat dari dalam hati; untuk segera membebaskannya pergi. Sampai disini, untuk yang terakhir kali, dan selanjutnya akan kuganti dengan cerita yang lain, dengan alur yang berbeda. Mungkin. Rasanya memang harus ku cukupkan sebab tak ada lagi alasanku untuk menulisnya. Karena percuma, katanya.
Tapi, sebelum semua ini kuakhiri-agar benar berakhir-termasuk luka yang pernah kita alami, dan rasa bahagia yang pernah kurasakan, bersamamu. Aku ingin merekamnya sebagai kenangan, sebagai adegan beberapa peristiwa yang pernah kita lalui.
“Aku mengintip dinding sunyiku lagi. Lagi dan lagi. Jari-jariku tak bisa kuhalangi, hingga guratan jejak sentuhan tersisa di layar handphone-ku. Kini. Aku membacanya, menelan katanya, menelaah maknanya. Yah, mungkin itu sebagai tanda untukku segera pergi, hilang dan tak perlu kembali.
Dan lagi. Jariku patah hati. Mataku patah hati. Jantungku patah hati. Paru-paruku patah hati. Aku patah hati, tepatnya. Yah, aku patah hati.
Sesak kembali menyeruak, melingkupiku, dan membakarku, dan jika mungkin aku akan menjadi abu. Deretan kata yang tertulis rapi itu membuatku ingin terbang dan menghilang di angkasa. Untuk membuang harapan yang tertuang dalam aksara-aksara yang dipenuhi namamu. Membuang ingatanku yang tertaut bayang-bayangmu. Membuang jejak yang mengharapkanmu ada bersamaku. Pernah sangat mengharapkanmu. Aku hanya butuh waktu agar terbiasa, butuh banyak jarak lagi agar jeda membuatku terbiasa. Terbiasa tidak melihat namamu lagi di alam bawah sadarku.
Dan mungkin nanti, aku akan lupa tentang hadirmu, tentang harapan kosongku yang meninggikanmu, dan aku mungkin akan lupa bahwa namamu pernah tertulis di sana, hatiku.
Seperti caramu melupakanku. Membuangku. Melepasku. Kamu hanya perlu menunggu waktu untuk terbiasa. Hingga jarak serta jeda membuatmu terbiasa. Terbiasa tidak melihat namaku di alam bawah sadarmu. Kelak kita akan lupa. Bahwa kisah ini pernah ada. Bahwa aku dan kamu pernah ada. Dan kita akan terbiasa, terbiasa untuk tidak mengingatnya.
Dan jika nanti, kita dipertemukan lagi oleh kebetulan, lembaran cerita yang kadang tak pernah kita harapkan terjadi, namun takdir mengizinkannya tanpa peduli hati dan harapan masing-masing. Ketika itu, mungkin waktu akan berhenti. Kamu akan berhenti,dan aku berhenti. Mungkin aku akan membeku-seperti waktu dulu-dan kamu menjadi batu. Mungkin mataku, matamu, saling menghindari pandangan. Saling menghindari tubrukan rasa.
Kita-aku saja dan kamu saja-mungkin saling membongkar kisah yang lama. Membuka lembaran-lembaran usang dalam ingatan. Tanpa kata, dan tertunduk diam.
Lalu, waktu yang membeku kembali meleleh. Memaksa aku dan kamu kembali bergerak, terpaksa bertemu, dan terpaksa tidak saling mengenal. Tidak pernah bertemu, tidak pernah tertawa bersama. Tidak pernah saling merindukan. Dan kita saling melewati.
Mungkin, aku, kamu, kita akan kembali merasa sesak. Sama seperti sesak ketika harus saling membuang, menghapus, dan saling melupakan.“
Dan kenyataannya, kamu adalah aku dalam ceritaku. Tak habis dukaku, aku harus pergi dan tak harus datang lagi. Ini menjadi kenanganku tentangmu. Aku akan menyimpannya, seperti perhiasan yang akan menghiasi hari-hariku nanti.
Sumber gambar : http://karenapuisiituindah.tumblr.com/post/56402351897/suatu-saat-nanti
http://laksmidhynie.wordpress.com/2013/03/20/pesan-singkat-mu/
0 Response to "Mungkin Bila Nanti"
Post a Comment