Mataku mulai berbinar-binar, sedikit lagi jatuh dan menumpahkan air mata. Mengingat jejak-jejak yang tertinggal masa, tersapu realita, dan terperangkap dalam memori jangka panjang. Ah, masa itu begitu indah. Aku ingin kembali merasakan hal sama. Berjalan tanpa malu-malu, sesuka hati mengayungkan kaki, berlari-lari kecil ke arah rumah tua yang masih kokoh karena terbuat dari papan kayu. Tapi, nyatanya sekarang aku harus berdiri dengan menundukkan kepala. Berjalan dengan menghitung langkah. Seperti masa itu telah lama tersimpan dan terlewatkan. Aku hanya bisa menikmatinya dalam khayalan.
Jejak masa lalu masih kuat mengakar di ranah imajinasi, tidak sedikitpun terkoyak oleh modernisasi. Masa sekarang seperti masa pembodohan kaum muda. Dan tidak lagi menciptakan kaum intelektual yang berkualitas. Ahh... Kenapa masa itu hilang?! Kenapa langkah-langkah itu tenggelam? Kenapa aku tak bisa kembali kesana? Dan kenapa hari ini semua berbeda?
Saat itu, sama seperti penghujung tahun ini. Hujan mengguyur bumiku yang masih hijau bersih tanpa polusi. Masih dengan bau tanah yang alami, tanpa ada campuran aspal yang meleleh ketika terik merajai hari. Aku terjebak kembali, terjebak dalam hujan sepanjang hari. Menunggu di bilik ruang tersempit, disana tempatku belajar menulis. Semua orang telah bersiap dengan payung masing-masing, sedangkan aku masih sibuk membereskan alat tulis menulis. Dan selain dari kami ada yang berlari-lari, memasuki lapangan sekolah dengan seragam menempel di badan mungil. Tidak takut ibu marah di rumah, tak peduli lagi, mereka ingin menikmati kesegaran rintik hujan tik tik tik. Bahagianya, sungguh bahagia raut wajah itu dalam tetesan yang tak terhitung itu, disana.
Namun waktu membatasiku untuk segera kembali ke rumah dan berhenti menyaksikan adegan-adegan yang menjadi kegemaran sepanjang musim penghujan. Aku berlari kegirangan, menembus rinai yang mengahalangi pandangan. Tepat diantara rumah-rumah warga, jejeran pohon pisang menjadi pelindung kepala. Seorang ibu tua dan anaknya yang baru pulang pun singgah untuk berteduh sementara, aku ikut kesana, berlindung dan melindungi buku-buku yang terbilang mahal saat itu dengan harga seribu rupiah. Betapa sulitnya dulu nominal itu masuk ke kantong ayahanda tercinta, hingga hari ini mereka hanya membuang-buang sebagai sisa belanjaan, sedangkan dulu peluh berjatuhan demi selembar uang bergambar orang hutan. Sekarang itu tak ada lagi, semua telah tersimpan rapi. Dalam kenangan yang tak seorang pun kan mengerti.
0 Response to "Memori Daun Pisang"
Post a Comment