Karya: Munifa
Aku ingin bercerita tentang sebuah keraguan...
Sebelum masa itu tiba, sebelum semua menjadi sia-sia, dan sebelum nafas itu terputus selamanya.
Aku menyimpan duka ini begitu lama, menyimpannya dalam lemari kesedihan tergembok rasa sakit dan takut. Pada malam, dengan siluet gelap tanpa cahaya, bersama awan gelap dia (malam) tertawa bahagia. Bulan tak menampakkan sinar pucatnya, sepertinya tercekal oleh kelam yang bertahta. Tak ada bintang, hanya pelita dengan cahaya yang dicuri dari korek kayu yang segera padam. Hanya dengan itu aku melihat sekeliling dunia yang sempit dalam pandanganku, tak ada tempatku untuk bergerak bebas, sukmaku terasa sesak untuk berteriak, nafasku tersengal menggantung tidak teratur. Aku merasakan kelemahan dan kelehan pada hari yang baru saja terlewati sebelum senja.
Hari ini, aku menyaksikan keanehan dari beberapa sikap yang tiba-tiba membuat pikiranku rancuh, dan bersikeras untuk memikirkannya lebih jauh, sedangkan yang aku tahu, itu tak perlu aku pikirkan lebih jauh, ada yang memaksaku melakukannya, seperti badan golgi yang tak lagi bisa menampung impuls yang berlebihan. Karena tidak kuasa aku lalu pergi, meninggalkan pikiran yang meragukan aku, meragukanku untuk sekadar berkata "tidak" untuk menolak setiap ajakan, dan berkata "ya" untuk menerima apaadanya yang diberikan, walaupun itu terbilang sangat kecil. Sikap yang sulit kuartikan sebagai sebuah kewajaran-nyatanya tidak. Bagiku itu berlebihan untuk seorang yang seperti aku, seorang yang tidak memiliki apa-apa untuk berkata "Aku adalah..." apa yang aku punya? Tidak banyak. Aku hanya memiliki setumpuk kata yang sulit kuucapkan, segudang pendapat yang selalu terbilang "tidak memuaskan" -mungkin bagi beberapa orang. Dan itu adalah keraguan yang tidak bisa aku lawan.
Terlalu sulit untuk menyuarakan kata-kata yang sejak lama tertahan, terpenjara oleh keraguan yang menyesakkan, memberi rasa galau dan takut untuk disalahkan lebih. Meskipun, satu dua kata bahkan terucap begitu saja, tanpa sadar, tanpa kendali, tidak terkontrol penuh begitu saja berteriak tanpa malu. Lalu aku, seolah terperangkap dalam kebisingan, mereka menatapku tajam layaknya seorang teroris yang harus segera dipenjara, agar tidak lagi menimbulkan kekacauan. Bahkan untuk mengelak dan menghindarpun tidak ada guna, mereka terlalu banyak. Bahkan tidak melepaskan pandangan yang sinis dari dua bola mata yang lembab. Aku menghela napas perlahan, tidak langsung membuangnya, sedikit kusimpan sebagai cadangan, agar saat mereka melemparkan hinaan, dadaku tidak terlalu sesak, walaupun itu tak pasti menyelamatkanku dari kematian rasa. Sebelum mereka merajamku dengan kata-kata yang berapi, berkobar tanpa ampun. Dan menyisakan bekas yang hitam, tidak mudah untuk dihilangkan. Itulah bukti betapa kejam dunia melihatku, dunia menganggapku. Yang semestinya memberiku peluang untuk tetap berkarya dalam duniaku-dunia sebatas aku, sebatas jalanku, sebatas kisahku.
Sebelum masa itu tiba, sebelum semua menjadi sia-sia, dan sebelum nafas itu terputus selamanya.
Aku menyimpan duka ini begitu lama, menyimpannya dalam lemari kesedihan tergembok rasa sakit dan takut. Pada malam, dengan siluet gelap tanpa cahaya, bersama awan gelap dia (malam) tertawa bahagia. Bulan tak menampakkan sinar pucatnya, sepertinya tercekal oleh kelam yang bertahta. Tak ada bintang, hanya pelita dengan cahaya yang dicuri dari korek kayu yang segera padam. Hanya dengan itu aku melihat sekeliling dunia yang sempit dalam pandanganku, tak ada tempatku untuk bergerak bebas, sukmaku terasa sesak untuk berteriak, nafasku tersengal menggantung tidak teratur. Aku merasakan kelemahan dan kelehan pada hari yang baru saja terlewati sebelum senja.
Hari ini, aku menyaksikan keanehan dari beberapa sikap yang tiba-tiba membuat pikiranku rancuh, dan bersikeras untuk memikirkannya lebih jauh, sedangkan yang aku tahu, itu tak perlu aku pikirkan lebih jauh, ada yang memaksaku melakukannya, seperti badan golgi yang tak lagi bisa menampung impuls yang berlebihan. Karena tidak kuasa aku lalu pergi, meninggalkan pikiran yang meragukan aku, meragukanku untuk sekadar berkata "tidak" untuk menolak setiap ajakan, dan berkata "ya" untuk menerima apaadanya yang diberikan, walaupun itu terbilang sangat kecil. Sikap yang sulit kuartikan sebagai sebuah kewajaran-nyatanya tidak. Bagiku itu berlebihan untuk seorang yang seperti aku, seorang yang tidak memiliki apa-apa untuk berkata "Aku adalah..." apa yang aku punya? Tidak banyak. Aku hanya memiliki setumpuk kata yang sulit kuucapkan, segudang pendapat yang selalu terbilang "tidak memuaskan" -mungkin bagi beberapa orang. Dan itu adalah keraguan yang tidak bisa aku lawan.
Terlalu sulit untuk menyuarakan kata-kata yang sejak lama tertahan, terpenjara oleh keraguan yang menyesakkan, memberi rasa galau dan takut untuk disalahkan lebih. Meskipun, satu dua kata bahkan terucap begitu saja, tanpa sadar, tanpa kendali, tidak terkontrol penuh begitu saja berteriak tanpa malu. Lalu aku, seolah terperangkap dalam kebisingan, mereka menatapku tajam layaknya seorang teroris yang harus segera dipenjara, agar tidak lagi menimbulkan kekacauan. Bahkan untuk mengelak dan menghindarpun tidak ada guna, mereka terlalu banyak. Bahkan tidak melepaskan pandangan yang sinis dari dua bola mata yang lembab. Aku menghela napas perlahan, tidak langsung membuangnya, sedikit kusimpan sebagai cadangan, agar saat mereka melemparkan hinaan, dadaku tidak terlalu sesak, walaupun itu tak pasti menyelamatkanku dari kematian rasa. Sebelum mereka merajamku dengan kata-kata yang berapi, berkobar tanpa ampun. Dan menyisakan bekas yang hitam, tidak mudah untuk dihilangkan. Itulah bukti betapa kejam dunia melihatku, dunia menganggapku. Yang semestinya memberiku peluang untuk tetap berkarya dalam duniaku-dunia sebatas aku, sebatas jalanku, sebatas kisahku.
0 Response to "Tentang Keraguan"
Post a Comment