Hujan
semakin gemar menghujat bumi dipenghujung Desember tahun ini, kerap kali
kudapati percikan lembutnya saat kucoba menengadahkan wajah, merasakan rerinai
yang setiap kali membawaku pada kisah masa lalu. Mengingatkanku pada
janji-janji yang menyimpulkan senyum di wajahku, janji yang memberi pengharapan
di atas rasa harapku.
Setiap
orang memiliki sebuah hal kecil di hatinya yang disebut harapan. Meski
terkadang harapan itu tidak sejalan dengan takdir manusia. Begitu pula aku, hal
kecil seperti pertemuan adalah harapan terbesarku. Harapan untuk kembali
bertemu dengan bahagia yang telah lama meninggalkanku. Kucoba untuk melewati
hari-hari ditemani bayang-bayang masa silam yang mengumpat rasa sedihku, menguatkan
jiwaku yang lelap di pembaringan rasa takutku.
“Ayah…”
Begitulah
aku memanggilnya, dengan suara manja dan sebingkai cinta untuknya. Ia tidak
pernah sekalipun mengabaikan panggilanku, ia menoleh lalu tersenyum kepadaku.
Tangannya sedang sibuk melukiskan wajah seorang gadis belia, melukis mata sendu
dengan rambut gelap yang terurai di bahunya dan sesimpul senyum tersungging di
bibir merahnya. Lewat lukisannya, aku mengenal wajah ibu yang sekalipun tak
pernah kutemui dalam hidupku.
Ayah
lebih sering memanggilku dengan sebutan Putri, padahal namaku Nur Salsabila
Azis. Entah bagaimana ceritanya ayah menyukai nama putri daripada Salsa atau
Abila. Sedangkan teman-teman sekolahku lebih akrab dengan panggilan Sabila.
Aku
dan ayah selalu berkunjung ke makam ibu, dengan begitu aku merasa dekat
dengannya meskipun langit kami sudah berbeda. Aku mungkin tidak punya
kesempatan bertemu ibu di dunia, namun ayah selalu meyakinkan aku, bahwa ibu
selalu memperhatikanku di surga dan menungguku dengan harapan di sana. Usiaku
masih 9 tahun waktu itu, masih sangat lugu dan polos untuk menerima kenyataan
bahwa aku hidup tanpa seorang ibu.
Hal
yang paling membuatku bersyukur bahwa ayah tidak pernah berniat menikah lagi,
meskipun usianya masih terbilang sangat muda, masih kepala tiga. Ayah adalah
seorang laki-laki dengan wajah tirus dengan lensa mata coklat. Tatapannya
sangat teduh dan senyumnya sangat tulus. Tak jarang wanita-wanita mendekati
ayah, namun rasa cinta dan janji sehidup semati dengan ibu memenjarakan
keinginannya untuk memberi ibu baru untukku. Apalagi aku tak pernah
menginginkan keberadaan orang lain di rumah kami. Aku sangat tidak suka dengan
sosok ibu tiri. Aku tidak ingin kasih sayang ayah terbagi-bagi. Terdengar
sangat egois, namun ayah tetap mengerti.*Naskah cerpen ini masih dalam tahap penyelesaian.
0 Response to "Bianglala Senja #1"
Post a Comment