Bianglala Senja #1

Bianglala Senja #1

Hujan semakin gemar menghujat bumi dipenghujung Desember tahun ini, kerap kali kudapati percikan lembutnya saat kucoba menengadahkan wajah, merasakan rerinai yang setiap kali membawaku pada kisah masa lalu. Mengingatkanku pada janji-janji yang menyimpulkan senyum di wajahku, janji yang memberi pengharapan di atas rasa harapku.
Setiap orang memiliki sebuah hal kecil di hatinya yang disebut harapan. Meski terkadang harapan itu tidak sejalan dengan takdir manusia. Begitu pula aku, hal kecil seperti pertemuan adalah harapan terbesarku. Harapan untuk kembali bertemu dengan bahagia yang telah lama meninggalkanku. Kucoba untuk melewati hari-hari ditemani bayang-bayang masa silam yang mengumpat rasa sedihku, menguatkan jiwaku yang lelap di pembaringan rasa takutku.
“Ayah…”
Begitulah aku memanggilnya, dengan suara manja dan sebingkai cinta untuknya. Ia tidak pernah sekalipun mengabaikan panggilanku, ia menoleh lalu tersenyum kepadaku. Tangannya sedang sibuk melukiskan wajah seorang gadis belia, melukis mata sendu dengan rambut gelap yang terurai di bahunya dan sesimpul senyum tersungging di bibir merahnya. Lewat lukisannya, aku mengenal wajah ibu yang sekalipun tak pernah kutemui dalam hidupku.
Ayah lebih sering memanggilku dengan sebutan Putri, padahal namaku Nur Salsabila Azis. Entah bagaimana ceritanya ayah menyukai nama putri daripada Salsa atau Abila. Sedangkan teman-teman sekolahku lebih akrab dengan panggilan Sabila.
Aku dan ayah selalu berkunjung ke makam ibu, dengan begitu aku merasa dekat dengannya meskipun langit kami sudah berbeda. Aku mungkin tidak punya kesempatan bertemu ibu di dunia, namun ayah selalu meyakinkan aku, bahwa ibu selalu memperhatikanku di surga dan menungguku dengan harapan di sana. Usiaku masih 9 tahun waktu itu, masih sangat lugu dan polos untuk menerima kenyataan bahwa aku hidup tanpa seorang ibu.
Hal yang paling membuatku bersyukur bahwa ayah tidak pernah berniat menikah lagi, meskipun usianya masih terbilang sangat muda, masih kepala tiga. Ayah adalah seorang laki-laki dengan wajah tirus dengan lensa mata coklat. Tatapannya sangat teduh dan senyumnya sangat tulus. Tak jarang wanita-wanita mendekati ayah, namun rasa cinta dan janji sehidup semati dengan ibu memenjarakan keinginannya untuk memberi ibu baru untukku. Apalagi aku tak pernah menginginkan keberadaan orang lain di rumah kami. Aku sangat tidak suka dengan sosok ibu tiri. Aku tidak ingin kasih sayang ayah terbagi-bagi. Terdengar sangat egois, namun ayah tetap mengerti.


*Naskah cerpen ini masih dalam tahap penyelesaian.

0 Response to "Bianglala Senja #1"

Post a Comment