Written by: Munifa

Kenangan kita ketika hujan.
Rembesan air mengenai wajahku di kerai kaca mobil, aku suka hujan tapi tidak untuk saat itu, saat aku mengejar waktu yang ditentukan. Sedangkan riak wajah langit masih sangat masam, masih ingin menangis sejadi-jadinya, dan aku bingung mencarimu diantara lalu lalang pengguna jalan yang tak ku kenali mereka siapa. Mencari batang hidungmu yang ku rindukan, mencari simpul senyummu yang juga sama ku rinduinya, tapi hujan masih saja mengguyur tempatku berdiri.
Aku masih menunggu rintik-rintik basah itu berhenti, seolah waktu terbuang percuma dan kita masih harus menunggu lama. Hingga matahari tak lagi nampak memberi warna pada pelangi, jingga terlihat samar-samar, senja itu berbeda. Sedangkan kursi masih basah. Dan lalu, kita harus apa? Menunggu-hujan itu berhenti menangis.
Detik waktu masih memihak pada kita, membiarkan pertemuan diantara dua pasang mata yang sama, diantara rindu yang mengembang-kempiskan dada. Ini kali pertama ku dapati hujan bersamamu, dipenghujung hari yang ku nanti. Dalam selang waktu yang bergulir tanpa disadari, kita disana adalah apa yang sedang mencari jalan untuk ditapaki-berdua-hanya kita saja. Saat mata kita bertemu, dan tanganmu menggenggamku, menghangatkan jari-jariku yang kaku, mengiringku menyebrangi garis hitam-putih yang bising, kala itu aku menyadari hujan tengah menguji. Dan kita yang berjalan disana, menapaki jejak yang masih sama adalah yang akan menjadi pemenang. Aku, kamu, kita yang kumau.
0 Response to "Hujan dan Kita yang Berjalan Setelahnya"
Post a Comment