Ada yang tidak bisa aku pahami, tidak bisa ku logikakan maknanya. Seperti mataku tertutup untuk membacanya, sulit. Duduk ditempat ini, memandang langit yang hampir menangis, menitikan rinai yang rindu menghentak kaki bumi. Dalam kubangan penuh makna, dalam sesal yang masih sama. Aku, menjadi satu-satunya yang harus belajar dari dera yang menghujat. Hilir angin menghempas jiwaku, entah kemana, entah dimana akan berhenti terbawa, ragaku masih saja harus menopang rindu yang terpatri, sendiri. Menunggu jarak yang tak lagi senggang. Menunggu waktu yang sejalan.
Aku memberanikan kakiku berjalan sendirian, menuju ke arahmu, menuju tempatmu, menuju hatimu. Tapi bisakah? Bisakah aku tinggal lebih lama? Dan menjadi satu-satunya yang tinggal dalam bilik hatimu? Bisakah? Sedangkan, waktu kita masih saja berbeda dalam jeda yang sama. Aku masih takut memastikannya, aku butuh haluan yang benar-benar kau pahamkan untukku. Untuk menuntun jalanku, sebuah tanda bahwa itulah hatimu, disana.
Bimbang masih mengekangku, masih menghimpit dan menyesakkan rasaku, memberi rasa ragu bahkan takut yang lebih dalam. Aku masih harus membekap diriku sendiri, memastikannya masih bisa bertahan dalam jalan penuh kerikil tajam. Masih dengan setia yang sama, dengan guratan rindu disetiap nafas yang berhembus. Membiarkan luka kering dengan sendirinya, dan lalu melupakan sebabnya, seperti daun yang tidak pernah membenci angin yang menggugurkannya.
24 Juli 2013
0 Response to "Guratan Jiwa yang Resah"
Post a Comment