Karya: Munifa
Senja adalah bagian dari hari yang menyenangkan. Duduk terdiam menikmati lukisan alam sedikit kemeraha-merahan merona ria sebelum petang menenggelamkan. Sedikit haru, aku tak pernah sesedih ini rasanya aku merindukan senja suasana ini. Senja yang ku nikmati bersama seorang wanita tua lemah gemulai membelai sedikit demi sedikit uraian rambutku, menciumku erat memelukku. Senja yang berlalu cepat jika ku hanya berdua duduk di setapak sawah bersama seorang pria tua yang piawai memainkan lagu senja yang dia ciptakan sendiri. Sungguh rindu... Sangat rindu bahkan semuanya meninggalkan cinta seolah merekalah malaikat yang tercipta untuk menjagaku.
Senja menciptakan sebuah alur cerita tanpa basabasi tanpa ragu-ragu seperti mendendangkan lagu selamat tinggal hariku berlalu, menyisakan tawa sebelum kelam malam menyambut menyuarakan lagu selamat malamnya. Aku tak akan bicara tentang malam, aku belum ingin merasakan malam, aku masih ingin pada senja ini. Cepat-cepat ku potret rias wajah langit yang sejak pagi tadi memperhatikan gerak gerikku, seolah dia diciptakan untuk mengawasiku. Merah merona rias mewarnai langit hingga tak biru, pelan-pelan ku tutup kelopak mataku, menahan pelan nafasku, menikmati sejuk senja di kursi pojok rumah kotakku.
Merah senja, aku rindu sosok wanita tua itu... Wanita yang melahirkan wanita yang melahirkanku. Aku rindu, senyuman hangat penuh cinta yang dia beri saat ku menangis karena takut malam datang manakuti hari hari kecilku. Aku masih ingat bagaimana takutnya aku pada keadaan yang disebut malam itu, aku seringkali tak melepaskan sedikitpun jemari tangan pria tua itu, ayah dari wanita yang menyusuiku. Manjanya aku saat itu, duduk manis dibelakangnya saat dia mengayuh sepeda tua yang menjadi kebanggaannya sejak dulu. Lucu, dia lebih senang mengayuh daripada harus menyalakan mesin butut vespanya, dan aku juga lebih senang duduk tenang dan memeluknya dari belakang diatas sepeda kumbang tuanya. Kisah masa kecil penuh cinta dari kakek dan nenekku yang kini telah terpisah karena waktu. Wanita tua itu lebih dulu masuk ke liang lahatnya, sebelum aku memberi bahagia dalam hidupnya. Aku masih sangat kecil, belum bisa memaknai apa itu cinta, apa itu bahagia apa itu cerita. Aku tak ingin mengingat hal itu, tak ingin mengingat dia pergi di depan mataku, menghembuskan jiwa terakhirnya untuk bertemu pemilik jiwanya. Aku marah ! Aku selalu merasa dia belum ingin pergi. Tapi kenapa harus secepat itu dia kembali. Saat itu aku Khilaf belum tahu apa-apa. Aku meronta tak membiarkannya sedikitpun disentuh oleh tangan-tangatn yang akan membawanya pergi. Aku menangis, aku masih ingin menikmati senja itu bersamanya. Ingin memeluknya ketika malam datang dan menghantuiku. Aku ingin dia bercerita tentang masanya bersama seorang pria yang menjatuhkan hati padanya.
Capung capung melintas menghidupkan kembali pikiranku, semakin mempercantik wajah sore ini. Ku redam perasaan emosiku yang meluap luap kepermukaan mataku. Mencptakan linangan air sedikit garam dan melembabkan kulit kulit terluarku. Senja ini terlalu indah untuk segera berlalu. Terlalu manis untuk segera diteguk bulan.
Semakin memerah, lihat senja ini semakin merah. Bahkan awan awan putih bersih itu terkalahkan oleh merah kemerahannya. Romantis ! Kunikmati sendiri, sendiri di rumah kotak ini. Entah apa ada yang sedang menikmatinya ditempat lain, di kotak lain atau di pertemuan lain semoga mereka mengartikannya sama seperti aku. Semoga mereka merasa sama seperti rasaku. Menikmati indah pandangan sebelum senja berganti kerlap bintang, yang mungkin akan sedikit menakutkan atau bahkan menjadi sedikit romantis untuk mereka yang lain. Senjaku senjamu adalah senja terindah.
Senja adalah bagian dari hari yang menyenangkan. Duduk terdiam menikmati lukisan alam sedikit kemeraha-merahan merona ria sebelum petang menenggelamkan. Sedikit haru, aku tak pernah sesedih ini rasanya aku merindukan senja suasana ini. Senja yang ku nikmati bersama seorang wanita tua lemah gemulai membelai sedikit demi sedikit uraian rambutku, menciumku erat memelukku. Senja yang berlalu cepat jika ku hanya berdua duduk di setapak sawah bersama seorang pria tua yang piawai memainkan lagu senja yang dia ciptakan sendiri. Sungguh rindu... Sangat rindu bahkan semuanya meninggalkan cinta seolah merekalah malaikat yang tercipta untuk menjagaku.
Senja menciptakan sebuah alur cerita tanpa basabasi tanpa ragu-ragu seperti mendendangkan lagu selamat tinggal hariku berlalu, menyisakan tawa sebelum kelam malam menyambut menyuarakan lagu selamat malamnya. Aku tak akan bicara tentang malam, aku belum ingin merasakan malam, aku masih ingin pada senja ini. Cepat-cepat ku potret rias wajah langit yang sejak pagi tadi memperhatikan gerak gerikku, seolah dia diciptakan untuk mengawasiku. Merah merona rias mewarnai langit hingga tak biru, pelan-pelan ku tutup kelopak mataku, menahan pelan nafasku, menikmati sejuk senja di kursi pojok rumah kotakku.
Merah senja, aku rindu sosok wanita tua itu... Wanita yang melahirkan wanita yang melahirkanku. Aku rindu, senyuman hangat penuh cinta yang dia beri saat ku menangis karena takut malam datang manakuti hari hari kecilku. Aku masih ingat bagaimana takutnya aku pada keadaan yang disebut malam itu, aku seringkali tak melepaskan sedikitpun jemari tangan pria tua itu, ayah dari wanita yang menyusuiku. Manjanya aku saat itu, duduk manis dibelakangnya saat dia mengayuh sepeda tua yang menjadi kebanggaannya sejak dulu. Lucu, dia lebih senang mengayuh daripada harus menyalakan mesin butut vespanya, dan aku juga lebih senang duduk tenang dan memeluknya dari belakang diatas sepeda kumbang tuanya. Kisah masa kecil penuh cinta dari kakek dan nenekku yang kini telah terpisah karena waktu. Wanita tua itu lebih dulu masuk ke liang lahatnya, sebelum aku memberi bahagia dalam hidupnya. Aku masih sangat kecil, belum bisa memaknai apa itu cinta, apa itu bahagia apa itu cerita. Aku tak ingin mengingat hal itu, tak ingin mengingat dia pergi di depan mataku, menghembuskan jiwa terakhirnya untuk bertemu pemilik jiwanya. Aku marah ! Aku selalu merasa dia belum ingin pergi. Tapi kenapa harus secepat itu dia kembali. Saat itu aku Khilaf belum tahu apa-apa. Aku meronta tak membiarkannya sedikitpun disentuh oleh tangan-tangatn yang akan membawanya pergi. Aku menangis, aku masih ingin menikmati senja itu bersamanya. Ingin memeluknya ketika malam datang dan menghantuiku. Aku ingin dia bercerita tentang masanya bersama seorang pria yang menjatuhkan hati padanya.
Capung capung melintas menghidupkan kembali pikiranku, semakin mempercantik wajah sore ini. Ku redam perasaan emosiku yang meluap luap kepermukaan mataku. Mencptakan linangan air sedikit garam dan melembabkan kulit kulit terluarku. Senja ini terlalu indah untuk segera berlalu. Terlalu manis untuk segera diteguk bulan.
Semakin memerah, lihat senja ini semakin merah. Bahkan awan awan putih bersih itu terkalahkan oleh merah kemerahannya. Romantis ! Kunikmati sendiri, sendiri di rumah kotak ini. Entah apa ada yang sedang menikmatinya ditempat lain, di kotak lain atau di pertemuan lain semoga mereka mengartikannya sama seperti aku. Semoga mereka merasa sama seperti rasaku. Menikmati indah pandangan sebelum senja berganti kerlap bintang, yang mungkin akan sedikit menakutkan atau bahkan menjadi sedikit romantis untuk mereka yang lain. Senjaku senjamu adalah senja terindah.
0 Response to "Merah Senja."
Post a Comment